PERGI

90 12 0
                                    

"Nggak apa-apa, Menangislah. Lo sudah berusaha sangat baik, lo sudah berusaha sekeras yang lo bisa." -Rania-

--------------------------------------------------
Alesha menghela napas dalam. Sudah satu jam ia duduk di musholla kampus untuk menghabiskan air matanya. Bingung, kecewa, marah, semua ditumpahkannya dalam sujud-sujud panjang sholat Asharnya.
    [Sayang, aku udah di parkiran. Kutunggu ya.]
Alesha memutuskan akan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kemajuan yang didapatnya selama satu bulan ini terlalu sayang untuk dihancurkan begitu saja. Alesha yakin, pelan-pelan ia akan bisa membuat Ardi nyaman untuk terbuka, lalu mereka akan memperbaiki ini semua bersama-sama. Dia akan bertahan dan berjuang, demi Satria, Rezha, dan Sabrina.
Alesha menyunggingkan senyum terbaiknya, mencium punggug tangan Ardi, lalu Ardi balas mengecup keningnya. "Kamu kelihatan pucat, Sayang? Sakit?"
Alesha mengangguk, "Iya, Mas. Hari ini banyak banget kerjaan. Aku mau tidur di jalan, boleh?"
Ardi mengangguk. Ditekannya  tombol reclining untuk kursi yang ditempati Alesha. Lelaki itu juga mengeset pendingin udara sesuai kebiasaan Alesha saat tidur, 22 derajat celcius. "Tidurlah, aku akan menyetir pelan-pelan."

"Terima kasih, Mas." Alesha memejamkan mata, lalu menolehkan wajahnya ke jendela. Menyembunyikan air matanya yang mengalir kembali. Aku tak ingin kehilangan kamu lagi, Mas.

Makan malam hari itu pun berjalan wajar. Anak-anak kini sibuk bercerita, tak hanya kepada Alesha, tapi juga kepada Ardi. Setelah anak-anak tidur, barulah Ardi kembali ke pekerjaan kantornya, bersebelahan dengan Alesha yang juga mempersiapkan  bahan-bahan perkuliahan esok. Alesha menghela napas, sungguh-sungguh dia tak ingin kehilangan momen-momen sederhana seperti ini. Namun, semua paparan Emryn siang tadi tetap mengganggunya. Ia tak bisa benar-benar tenang.

Sebuah pesan masuk, dari Rania. Alesha menepi dari meja kerja, merebahkan dirinya ke ranjang. Hati kecilnya khawatir kalau percakapan ini akan sensitif.

[Sorry soal tadi siang, Sha. Lo baik-baik aja?]

Alesha tersenyum kecut [Menurut lo? Hehe, tapi gue baik-baik aja. Cuma jadi banyak pikiran aja. Doain gue ya Ran. ]

[Ehm, soal chat sialan tadi siang itu. Gue udah buka kembali kelanjutan pembicaraan Ardi dengan cewek gila itu. ]

Rania mengirim screenshot kelanjutan percakapan Ardi dengan Fina Pinkie Pie. Rasa berat di kepala Alesha sejak siang itu tiba-tiba menguap. Bahagia membuncah di dadanya. Syukurlah,  Mas Ardi betul-betul ingin membuka lembaran baru bersamaku.
Alesha bangkit dari ranjangnya lalu memeluk Ardi dari belakang. "Udahan dong, kerjanya ..." rajuknya, manja. Ardi tersenyum, menutup laptop, mematikan lampu kerjanya.

***
"Emryn mana sih? tumben udah dua minggu nggak kelihatan?" tanya Alesha pada Rania saat mereka tengah makan siang bersama di ruangan Rania. Emryn kadang-kadang bergabung juga dengan mereka, walau datang dan pergi seenaknya. Hari itu, Sabrina dibawanya ke kampus karena sedang flu, jadi ia tidak bisa masuk sekolah. Sementara baby sitter yang sudah ia sewa belum datang.

"Ke Afrika dia. Dua bulan." Rania menjawab cuek sambil menawari Sabrina sosis bakar. Sabrina dengan lahap memakannya. Memang Sabrina paling senang kalau disuruh menunggu di ruangan Rania. Maklum, ruangan Rania memang bagai base camp buat para dosen, suplai makanan tak habis-habis di dalam mini barnya.

"Afrika? Terus gimana proyek kita?" Alesha menganga.

"Iya, mau tour konservasi katanya. Bosen lihat orang, mau lihat binatang liar. Mungkin ingin belajar mengaum buat dipraktekkan saat sidang mahasiswa. 'Haum!' " Tiba-tiba saja Rania menirukan auman singa sambil menyengkramkan kedua tangannya ke arah Sabrina, lalu menggelitikinya. Sabrina tertawa geli. "Udah, nggak usah dipikirin si Emryn sih. Paling lagi mandi lumpur sama kuda nil sekarang. Oh ya, gimana kabar Ardi?"

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang