BACK TO OFFICE

105 10 1
                                    

"Di dunia ini ada orang yang berjodoh cuma untuk sekadar lewat, ada juga yang memang jodohnya ditakdirkan hidup bersama."

--------------------------------------------

[Em, besok jam 9 pagi meeting di ruangan gue ya. Penting, urgent, nggak pake tapi-tapian.]

Ya ampun, ada apa lagi nih Rania? Kalau bahasa pesannya sudah seperti itu, cuma Allah dan dia sendiri yang bisa membatalkan keinginannya.

[Baik, Bu ....]

Emryn beranjak dari sofanya yang ergonomis, pindah ke lantai untuk mengelus Kaisar yang sedang bermalas-malasan. Sudah tiga bulan sejak ibunya sakit dan Emryn mengundurkan diri dari jabatan wakil dekan. Semangat kerjanya betul-betul menurun. Ia hanya menjalankan kewajiban mengajar dan bimbingan. Penelitian pun banyak diambil alih oleh Rania dan Alesha. Yang ada dalam pikirannya hanya fokus menemani proses recovery sang bunda. Proses penelitian Alesha pun bisa dikatakan berjalan dengan sangat mandiri.

Sepekan terakhir ini, alhamdulillah progress kesehatan Bu Riska sangat bagus. Alesha yang memaksa ingin bergantian menjaga ibunya benar-benar sangat membantu. Emryn jadi lebih optimis dan merasa punya partner dalam menemani proses terapi wicara ibunya.

"Sar, kamu nggak pernah kangen lagi sama Darling?" Emryn menyentuh bagian bawah dagu Kaisar dengan ujung jari-jarinya. "Kasian kan kalau Darling kangen sama kamu."

Kaisar hanya mengeong pelan sambil meregangkan otot-ototnya.

"Kamu khawatir sama aku ya, Sar? Tenang aja, Bunda udah baik-baik aja insyaAllah.  Jadi sekarang aku juga baik-baik aja. Darling itu kan istri kamu, jadi jangan di-friendzone dong."

Emryn berbaring di lantai lalu meletakkan Kaisar di atas perutnya yang rata. Dia jadi teringat pada Alesha. Sampai saat ini status hubungan mereka semakin tidak jelas. Kalau mau dibilang teman biasa, Alesha tetap istimewa baginya. Wanita itu bahkan rela ikut menjaga bundanya di rumah sakit. Akan tetapi, untuk menaikkan level hubungan mereka, rasanya Emryn sudah tidak punya energi lagi untuk berjuang. Mungkin memang sudah seharusnya sekarang dia cukup dengan fokus pada penelitian dan tugas-tugasnya sebagai profesor.
***

Rania dan Alesha sudah menunggu untuk meeting pagi itu. Alesha tampak cantik bersinar seperti biasanya, tapi Rania terlihat agak pucat. Dandanannya pun polos tanpa make up. Tak ada wangi parfum yang biasa dipakainya.

"Makasih ya, kalian udah datang. Gue ada pengumuman penting yang mungkin bakal berefek ke proyek penelitian kita." Rania berhenti berbicara sejenak, lalu memasukkan permen jahe kemulutnya.

"Ada masalah apa, Ran?  Biaya? perizinan? Alat?" Emryn mulai khawatir.

"Gue hamil."

Emryn tercengang, sama sekali tidak menduga jawaban itu.

"Alhamdulillah ... selamat ya, Ran. Senang deh bakal dapet ponakan baru. Sehat-sehat terus ya, bumil." Alesha langsung memeluk Rania.

"Gue juga ikut senang. Tapi apa hubungannya sama penelitian kita?" Emryn masih tak paham.

"Lo tahu, selama tiga bulan ini, banyak kerjaan lo yang dilimpahkan ke gue, sampe gue bener-bener kecapean. Bimbingan Alesha pun lebih sering sama gue. Sekarang gue udah nggak sanggup, angkat tangan. Hari-hari gue terasa kayak mabuk perjalanan terus menerus. Mual dan kepala pusing kalau lama-lama di depan layar. Jam 8 malam gue udah tepar, nggak bisa begadang lagi. Balum lagi semua yang gue makan 50 persennya keluar lagi. Jadi please, Em ... sekarang giliran lo sama Alesha yang bantu kerjaan-kerjaan gue."

"Wah ... hamil lo berat juga ya." Emryn ikut prihatin. Selama ini dia tidak pernah bergaul dengan wanita hamil, jadi tak terlalu memperhatikan bagaimana sulitnya.

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang