LETTING GO

83 12 0
                                    

Hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Ada masanya, beberapa bawaan harus dilepas di belakang, agar kita bisa melanjutkan langkah dengan lebih ringan ke depan.
----------------------------------------------

Alesha melihat kepedihan di mata Ardi. Tak ada satupun kata terucap dari bibirnya. Alesha tak pernah menyangka, kini mereka bersanding kembali. Namun, dua belas tahun lalu mereka bersanding di kursi pelaminan, di hadapan penghulu. Kini mereka bersanding di kursi penggugat dan tergugat, di depan majelis hakim.

Alesha meminta Rania untuk mencabut aduannya ke polisi, lalu memutuskan untuk menggugat cerai Ardi. Ardi terus memohon dan memohon, tapi sulit bagi Alesha melupakan wajahnya saat melempar vas bunga itu ke arahnya, melupakan darah yang bercucuran dari kaki mungil Sabrina. Juga mata ketakutan kedua puteranya. Apalagi kalau mengingat bisnis haramnya itu, sulit baginya untuk membiarkan Ardi menjadi panutan anak-anaknya.

Alesha pun tak peduli saat Ardi mengancam tak akan mau mengurus harta gono gini agar Alesha membatalkan niatnya untuk bercerai. Alesha hanya meminta hak asuh penuh, rumah tinggal mereka, dan komitmen Ardi untuk menafkahi anak-anak mereka sampai mereka semua tuntas berkuliah. Beruntung, Alesha didampingi pengacara keluarga Rania yang pada akhirnya membuat Ardi tak berkutik. Ia pun menandatangani akta cerai.

"Rencana lo sekarang gimana, Sha?" tanya Rania dalam mobil sepulang dari pengadilan terakhir Alesha.

"Ya, gue harus lebih giat cari duit sih yang jelas." Alesha tersenyum pahit.

Rania tertawa kecil. "Sekarang lu sederajat sama gue ya, jomblo! Apa kita harus rayakan dengan ngopi? Gue traktir caramel macchiatto kesukaan lo. Gue tau kedai kopi kecil yang enak banget."

"Boleh deh, sekalian beliin minuman lain buat anak-anak."

"Okelah." Rania membelokkan Cassano keluar jalan tol. Mobil itu memang pas untuk melewati jalan-jalan yang sempit dan berkelok-kelok. Tujuan Rania adalah sebuah kedai kopi di atas bukit.

"Di sana spot favorit gue, yuk!" Rania menunjuk sebuah gazebo kecil di puncak tertinggi bukit itu. Alesha mengangguk lalu mengikutinya.

Di samping tempat duduk mereka ada pohon yang cukup besar sehingga angin tak terasa terlalu keras menerpa. Sebaliknya, terasa sangat sejuk.

Mereka berdua menatap pemandangan sawah dan rumah-rumah penduduk di kaki bukit. Begitu harmonis berpadu dengan hamparan langit biru di atasnya. Hati Alesha terasa damai di tempat itu. Tak lama, pelayan membawakan pesanan Alesha dan satu iced Americano pesanan Rania.

"Selera kopi lu sama Emryn sama banget, ya." tiba-tiba Alesha teringat Emryn. Manalah ia tahu banyak yang terjadi padanya dalam dua bulan ini. Lelaki yang kadang kekanak-kanakan itu benar-benar memblokir nomornya selama liburan.

Rania tersenyum, "Lama-lama emang rasanya kami terlalu mirip. Sampai gue mikir, dia lebih cocok jadi kakak gue daripada calon suami gue."

"Lebih bagus begitu dong, kalian udah sangat tahu satu sama lain, jadi nggak akan tertipu di belakang hari." Alesha tersenyum kecut karena teringat Ardi. Ia menghirup aroma kopinya untuk menenangkan diri, lalu menyeruputnya perlahan. Rania benar, rasa kopi di sini sangat enak.

"Apa elu ada niat nikah lagi setelah ini, Sha?" Rania bertanya hati-hati.

"Nikah? Gue kapok Ran. Gue bener-bener kecewa sama Mas Ardi, tapi di sisi lain, duh, gue malu mengakui ini, tapi jujur terkadang gue masih kangen dia. Suaranya, wanginya, ketawanya. Kadang-kadang gue pun masih memeluk kemejanya di malam hari, berharap bisa ngobrol lagi. Tapi gue tahu, gue harus tetap bercerai." air mata meleleh kembali di pipi Alesha. Rindu yang menyakitkan adalah rindu yang takkan pernah tertuntaskan. Ardi harus ia lepaskan, di saat ia sangat menyayanginya, di saat harapan itu kembali tumbuh.

Rania merangkul Alesha. "It's okay, Sha. Take your time. Ini adalah proses yang akan sangat panjang. Tapi jangan khawatir, gue akan selalu di samping lo. Gue akan support lo sampai lo bener-bener bisa tegak di atas kaki lo sendiri."

Alesha mengangguk berterima kasih. Ia kemudian menangis sepuasnya. Mempersilakan air matanya yang masih ingin mengalir. Karena saat ia sampai di rumah nanti, ia takkan menangis lagi. Ia harus kuat demi anak-anaknya.

Hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Ada masanya, beberapa bawaan harus dilepas di belakang, agar kita bisa melanjutkan langkah dengan lebih ringan ke depan. Alesha melepas kapal besarnya yang sudah karam. Walau dengan sekoci sederhana, ia bertekad untuk mengarungi samudera kehidupan ini bersama ketiga permata hatinya. Ia yakin, Allah punya rencana yang lebih baik bagi mereka.

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang