LUNCH MEETING

106 14 2
                                    

"Kalau lo lebih lama lagi deket-deket gue, kekaguman lo bakal terus bertambah." -Emryn-

---------------------------------------------------

"Sarapan?" Alesha memindahkan nasi goreng ke atas piring saji. Wangi bawang dan cabai yang ditumis sempurna menguar di meja makan meski adzan Subuh baru saja usai.
"Buru-buru"  Ardi menggeleng sambil  meminum segelas air, merapikan kemejanya sambil sedikit menata rambutnya yang hitam legam. Walau usianya 40, namun tak selembar uban pun mampir di kulit kepalanya yang putih bersih itu.
"Bawa bekal makan siang?" Alesha mengangkat kotak bekal Abu-abu yang biasa digunakan Ardi. Selain nasi goreng untuk sarapan, Alesha dibantu mbok Ira juga menyiapkan menu lengkap untuk bekal anak-anak mereka.
Ardi terdiam sejenak.
"Ada lunch meeting sama direksi." jawabnya sambil mengangkat tas ke bahunya.
Alesha tersenyum, namun sesungguhnya hatinya kecewa karena ia tahu kini bahwa Ardi tak selalu jujur. Ia baru saja membohonginya. Rania bilang, bila Ardi tak pernah bertemu dengan wanita-wanita yang dia ajak bergenit-genit dalam chat, itu tergolong micro cheating. Tapi nyatanya dia bertemu rutin dengan wanita-wanita itu. Alesha makin jeri membayangkannya.
"Oh gitu... oke... hati hati ya Pip..." Alesha memasang senyum yang lebih lebar walau hatinya ingin bibirnya menggertak.
"Hm, Assalamu'alaikum. " Ardi mengambil kunci mobil yang tergantung di kulkas tanpa menatap istrinya sama sekali. Tak menunggu salamnya dibalas, terdengar suara mobil meraung di garasi, lalu hilang.
"Maaa, aku mau makan dulu baru mandi... boleh ya pliis"
Alesha terkejut. Tiba-tiba saja sesosok gadis kecil sudah duduk di meja makan. Masih dengan piyama dan rambut ikal yang kusut masai. Tak ada waktu lagi melamunkan Ardi. Pagi dimulai, menyiapkan sarapan, cek seragam, cek peralatan, bekal, kadang masih ada saja yang baru mengerjakan PR. Tangan dan kaki Alesha berpacu cepat bagai gurita bertangan tigabelas. Belum lagi Alesha juga harus berdandan rapi.
Akhirnya, semua anak telah diantar ke sekolah. Alesha memacu Honda Brio mungilnya ke kampus. Hari ini jadwal asistensi tidak terlalu padat, tapi sebagai tenaga pendidikan muda, ada saja acara yang harus dia manage. Muda? Ya seharusnya tidak. Tapi nyatanya dia baru diterima di usia 35, itupun karena kebaikan Emryn, sahabat lamanya, yang bersedia memberi rekomendasi. Emryn kini jadi profesor termuda di kampus almamaternya.
Perjuangan untuk posisi ini pun tidak mudah. Terutama untuk mendapatkan izin dari Ardi. Dia keberatan kalau atasan langsung Alesha adalah seorang laki-laki. Alesha tahu, Ardi akan mempermasalahkan hal itu. Sudah menjadi prosedur standar bagi suaminya itu untuk bertanya dengan detail tentang bersama siapa dia berperjalanan, kemana saja dia pergi, bahkan berbicara dengan siapa saja setiap kali meminta ijin keluar rumah selain untuk keperluan rumah tangga. Sebelum ia meretas isi percakapan ponsel suaminya, Alesha selalu percaya itu adalah bentuk perhatian, perlindungan, dan rasa memiliki seorang suami terhadap isterinya. Tetapi kini sikap Ardi mulai menimbulkan sebuah percik pertanyaan dalam pikirannya. Apakah hal seperti itu adalah cinta? Untungnya Alesha tidak bekerja langsung di bawah Emryn, melainkan di bawah Rania sebagai penanggung jawab  laboratorium. Karena itulah izin dari Ardi bisa dikantonginya.
Baru saja Alesha duduk dan meletakkan tas Tory Burch warna hitamnya di atas meja , notifikasi ponsel  menyala. Emryn.
7.20 Emryn Prof. : "Alesha, ada waktu siang ini?"
7.21 Me : "10 menit cukup?"
7:21 Emryn Prof. : "Gue apa elo sih yang butuh? Sibuk banget!"
7.23 Me : "Gue sibuk. Bantu tim akreditasi, ada audit pekan ini. Mending gue kasih 10 menit."
7.24 Emryn Prof. :  "Sore deh, sambil ngopi."
7.24 Me : "Ngopi? Nggak mungkin. Gue kudu jemput anak-anak."
7.25 Emryn Prof. : Susah bikin janji sama ibu-ibu. Oke deh 2x5 menit. Kantin biasa?
7.26 Me : Ribet di kantin segala. Di kantor elu aja deh.
7.27 Emryn Prof. : Baeklah. Gue tunggu antara jam 12.00-12.39 ya!

12.29
Alesha mengetuk pintu kantor Emryn. Pintu itu terbuat dari kayu jati, agak berat tapi kokoh. Gagang pintunya dari logam nirkarat, yang berkilau karena sering dibersihkan oleh para staf umum. Sebuah papan berwarna perak tertempel di bagian tengah atas. Tertulis di sana, 'Prof. Emryn Arka Giandra. Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan.
"Masuk" suara pendek terdengar dari dalam.
Alesha membuka pintu dan melongokkan wajahnya. Ini sudah kali ketiga dia mengunjungi Emryn di ruangannya tapi tetap saja ia takjub. Seperti lazimnya pejabat tinggi fakultas, Emryn punya ruangan sendiri yang cukup luas. Namun, inilah satu-satunya ruangan Kaprodi di kampus ini yang dilengkapi tiga layar monitor besar beserta PC canggih dan dilengkapi console game terbaru.
Di sudut kiri ada rak buku besar yang tidak terlalu rapi, tapi lumayan karena kita masih bisa mencari judul buku. Lalu di sudut kanan, ada pemandangan yang pasti membuat pupil mata siapapun yang melihatnya membesar. Satu set alat band, lengkap. Alesha belum tahu apakah Emryn memang punya band atau dia hanya senang memainkan setiap alat musik yang ada.
Di atas sofa tampak seekor kucing abu-abu gendut yang sedang mendengkur malas. Kucing yang membuat para mahasiswa merasa iri, karena kadang Emryn bersikap lebih manis pada hewan itu ketimbang ke mahasiswa bimbingannya. Dinding ruangannya polos. Tidak terlihat aneka plakat dan piagam yang biasanya memenuhi tiap sisi ruangan kaprodi lain. Apakah Emryn tak punya? Tentu saja dia punya. Banyak. Emryn menyimpannya di gudang. Sekali setahun dibuang karena memang terlalu banyak. Cukup difoto dan disimpan di cloud saja, begitu ceritanya saat pertama kali Alesha mampir ke ruangan itu.
Tiba-tiba pintu ruangan Emryn diketuk. Bak model Rania masuk dengan langkah cepat, dagu terangkat, penuh percaya diri. Wangi parfumnya semerbak hingga memenuhi ruangan kerja Emryn yang luas.
"Sorry guys ... gue baru beres meeting. Sebagai permohonan maaf, ini buat kalian." Rania membagikan dua butir  cokelat Ferrero Rocher untuk Emryn dan Alesha."
"Duh, Mama Darling memang kebiasaan deh, telat. Memangnya kita bisa disogok pake cokelat mahal?" Emryn melirik Rania sebentar lalu kembali menatap layar laptopnya. Alesha hanya bisa melirik keduanya dengan canggung. Bisa-bisanya mereka memanggil dengan panggilan mesra begitu di depan kolega, batin Alesha.
"OK Girls, coba kalian lihat. Ngapain pada disana? Duduk sini." Perintah lelaki berambut cepak itu.
"Gimana?" kini dia melipat tangannya dan sepenuhnya menatap wajah Alesha. Lebih mirip dosen yang sedang menanyakan progress Tugas Akhir daripada seorang teman.
"Menyedihkan" Alesha menekuk wajahnya, matanya mengarah ke bawah, menghindari pandangan Emryn yang penasaran di balik kacamata.
Emryn tak bereaksi, ia sudah menduga respon Alesha akan seperti ini.
"Lo mau terusin? Gue bakal bantu. Lo tahu ini tindakan kriminal kan? Asal lo janji, ini buat cari solusi. Bukan drama!"
"Sejak kapan gue suka drama." Alesha mengangkat wajah, menatap Emryn dengan tajam
"Kalau mau mulai drama, lo bisa. Kapanpun. Kalau kasus ini sampai terlempar di internet, bisa dijamin mayoritas rakyat online berada di pihak lo. Tinggal tunggu waktu Ardi dibully netizen se Indonesia" Emryn senyum-senyum jahil, memperlihatkan dua lesung pipit yang dalam. Alesha baru tersadar bahwa senyum seperti ini mungkin yang membuat karismanya melelehkan jiwa-jiwa mahasiswi.
Alesha ikut tersenyum. Bisa dibilang, ini senyum santai pertamanya hari ini.
"Nggak lah... umur gue segini, Em. Gue cuma pengen pernikahan gue bahagia. Jadi anak-anak gue bahagia."
"Gila, lo kuat banget sih, Sha. Gue sebagai sesama perempuan aja nggak bisa terima melihat kelakuan Ardi kaya gitu. Nggak ngerti lagi deh, lo segitu cintanya ya sama dia?"
"Ya, kami kan udah hidup bersama 12 tahun, Ran. Nggak semua dari Ardi buruk. Lagi pula, dia kan bapaknya anak-anak gue."
Rania menggelengkan kepala. Emryn mengangkat alisnya, lalu mengangguk-angguk.
"Oke, gue akan ajarin cara akses email dan seluruh isi ponsel your cutey hubby." katanya setengah menggoda. Alesha pura-pura cuek.
"Isi rekening?" tiba-tiba saja pikiran itu menyeruak dari benak Alesha. Selama ini dia selalu merasa dirinya tak berhak mengetahui isi dompet suaminya, tapi kali ini sesuatu dalam hatinya menginginkan informasi itu.
"Bisa, tapi gue gak berani. Gue bisa sembunyi dengan mudah, tapi elo? Wah jangan deh."
Emryn  mengunci pintu, lalu mereka membuka laptop masing-masing sambil Emryn memberi instruksi pada Rania dan Alesha. Mereka bekerja sangat cepat bagai pasukan cyber yang sedang meretas keamanan markas musuh.
    "Woah, gue serasa lagi terlibat dalam tim detektif kalau bareng kalian. Ternyata lo lebih keren dari yang gue bayangkan, Em," komentar Rania takjub. Emryn memang sengaja mengundang Rania, lebih tepatnya memaksa, setiap kali harus berkonsultasi urusan pribadi dengan Alesha. Dia tidak ingin timbul prasangka-prasangka dari luar yang bisa berakibat buruk untuk dirinya sendiri dan juga rumah tangga Alesha.
    "Kalau lo lebih lama lagi deket-deket gue, kekaguman lo bakal terus bertambah, Ran," jawab Emryn dengan ekspresi datar. "OK, mission accomplished! Udah 2x5 menit, kalian boleh keluar!" perintah Emryn sambil matanya masih terpaut pada layar
"Oke, makasih banyak, Em, Ran." jawab Alesha sambil menutup laptopnya
"Btw, lo tahu kan kalau kami juga bisa liat semuanya?" Emryn mengingatkan.
"Iya. Gue tau. Dan gue tahu kalian bisa pegang rahasia."
"Lo hati-hati, jangan gegabah, kalau perlu kita obrolin bareng dulu andai lo mau konfrontasi sama laki lo." Emryn menatap Alesha, ada sedikit pandangan khawatir disana. Tapi pandangan itu justru membuat hati Alesha terselimuti rasa tenteram.
"Oh ya, Sha ..." panggil Emryn tiba-tiba saat Alesha sudah hampir sampai di pintu.
"Bayar jasa gue dong!" katanya serius sambil menghampiri Alesha.
"Ck ah, perhitungan banget sama temen." Alesha mengerucutkan mulutnya.
"Janji adalah janji, Nyonya. Buat gue doang, Rania ga usah." Tangannya menengadah. Rania nyengir, tak biasanya Emryn si angkuh  itu merajuk pada seorang wanita,  bertingkah mirip anak kecil pula.
"Nih!" Alesha mendengkus tak rela. Lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Lima buah permen karet berbungkus kertas warna pink berpindah tangan. Emryn tersenyum lebar lalu mengacungkan jempolnya. Alesha memutar mata dan menggeleng-geleng atas kelakuan sahabatnya yang sudah beruban itu.
Tapi dalam sedetik, si anak imut penyuka permen karet berubah menjadi pria gentleman, Emryn menghilangkan senyum lebarnya, menegakkan badan, memasang wajah serius, lalu membukakan pintu untuk mempersilakan Alesha dan Rania pergi.
"Thanks!" Alesha mengangguk sopan.
Sebelum berpisah Rania menarik lengan Alesha untuk menghentikan langkahnya. "Sha, gue tahu ini pasti berat buat lo. Kalo ada apa-apa, call me, OK?
"Makasih, Ran ...."

***
Jam 4 sore Alesha sudah tiba di kompleks sekolah anak-anaknya. Ketiganya sekolah di yayasan yang sama. Pertama Sabrina, sejam kemudian Rezha dan Satria keluar. Seperti biasanya Alesha sudah menyiapkan snack sore di mobil. Anak-anaknya paling senang ngemil sambil bercerita tentang apa saja yang terjadi di sekolah, setelah camilan habis. Satu persatu akan tertidur. Baru jam 6.30 Alesha bisa memarkir mobil di garasi.
"Pip pulang larut ya, Mim?" Satria bertanya sambil mengangkat  spaghetti bolognaise buatan Mbok Ira tinggi-tinggi, lalu menengadahkan mulutnya dan membuka lebar-lebar.
"Heh Mas Satria jorok deh, ntar kejatohan pupup cicak aja, gurih!" Sabrina meringis melihat kelakuan kakak lelaki sulungnya yang seringkali slengean itu.
"Biarin aja Sab, emang Mas Satria itu doyan cicak bolognese. Seleranya emang agak eksotik gitu." sahut Rezha yang menyiram saus bolognaise dengan royalnya ke piring.
"Ish ini lagi, makan spaghetti saus bolognese apa bolognese saus spaghetti sih! Nah aku ga dapet dong!" Sabrina mengerutkan dahi, matanya melotot, dan mulutnya terbuka.
Alesha santai saja menikmati spaghettinya sendiri, sambil tersenyum menyaksikan keributan ketiga anaknya itu. "Udah dong... kapan mulai makannya kalau berantem terus." tegur Alesha lembut.
Sabrina menyendok saus di piring Rezha, Rezha hendak menyemprot adik ceweknya itu tapi sadar kalau Mim menatapnya. Rezha pun ikhlas makan spaghetti dengan saus favoritnya yang tinggal separuh.
"Mi, aku lagi ada tugas wawancara tentang pekerjaan orang tua.  Pulang jam berapa Pip, Mi?" Satria bertanya penuh harap.
"Kamu coba chat Pip dulu deh, barangkali bisa via hp?" usul Alesha, Satria segera meraih handphonenya lalu mengirim pesan untuk ayahnya. Sent.
Sampai selesai makan malam, Ardi tampaknya belum juga menjawab pesan Satria. Badan satria menggelosor lesu di sofa, menonton apa yang tidak terlalu ingin dia tonton sambil menunggu ayahnya pulang.
"Sabar ya, mungkin Pip lagi meeting yang gak bisa disela."
"Sebenernya aku butuh malem ini banget, tapi ya nggak wajib sama Pip sih. Mim aja mau nggak? Please ...."
Alesha tersenyum, "Kita coba sama Pip dulu lah... Mim kan baru kerjanya beberapa bulan ini."
Satria tampak gelisah menunggu. Namun satu jam berlalu tanpa respon dari Ardi. Anak remaja itu kembali meminta ibunya untuk membantu dan akhirnya, seperti hari-hari sejak pertama kali Satria masuk sekolah, Alesha yang menemani anak-anaknya mengerjakan PR.
Deru mobil memasuki garasi, hampir tengah malam. Alesha yang sudah setengah tidur segera membuka matanya lebar-lebar. Hampir saja dia membiarkan halaman email Ardi terbuka. Segera dimatikannya laptop dan bergegas menyambut Ardi.
"Assalamu'alaikum" sapanya begitu melihat Alesha di depan pintu. Alesha meraih tangan Ardi dan menciumnya takzim.
"Udah makan?" tanya Alesha.
"Jam segini ya udah makanlah, nggak bisa ya, mandiri berpikir? Semua harus nanya!" ketus Ardi.
Alesha terdiam. Aku tak mandiri berpikir? Bagaimana aku ini. Umur segini nggak mandiri berpikir. Jangan-jangan aku hanyalah isteri yang menambah beban pikiran.
"Maaf ..." jawabnya pelan.
"Mulai besok, kamu nggak usah nungguin aku begini. Aku kerja, nggak ngapa-ngapain. Kenapa kamu kayak satpam sih. Udahlah kamu itu anxiety tau, atau mungkin terlalu posesif! better cek ke psikolog deh!"
Alesha terdiam. Bukannya Ardi biasanya kesal kalau ia tak menunggunya pulang? Ia ingin sekali menjawab. Posesif?  Cemas berlebihan? Tidak ... tidak ... Aku cuma rindu, aku berharap bisa ngobrol setelah nggak ketemu seharian! Apa itu salah? Tapi semua hanya tersimpan di pikirannya. Ada sebuah perisai besar yang terasa menghalangi antara hati dan mulutnya. Sebuah perisai keraguan dan ketakutan yang besar, kepada suaminya sendiri. Padahal Alesha pun menahan lelah dan kantuk yang sangat, demi menunggu Ardi.
Alesha menyeret kakinya dengan lesu. Meninggalkan Ardi yang kembali sibuk dengan ponselnya, seperti tak peduli ia ada atau tiada.
***

Astaghfirullah ... Ardi itumemang bikin gemesss ya ... Enaknya diapain ya orang macam gini biar sadar?

Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar ya ... 💙

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang