RASA YANG DIRINDUKAN

80 12 1
                                    

"Ngadepin mahasiswa menghilang itu bikin pusing, soalnya gue bukan dukun yang bisa nebak-nebak dia ada di mana trus maunya apa." -Emryn-

----------------------------------------------------------------------------------------

Tangga darurat, meskipun jarang dilewati tetapi harus tetap disediakan sebagai jalur evakuasi saat emergency. Saking sepinya, ada pula yang menggunakan tangga darurat untuk melipir dari keramaian. Tempat merenung bahkan meratapi nasib.

Siang itu koridor relatif sepi, sambil lewat Alesha mendengar suara tangisan samar-samar dekat pintu ke tangga darurat. Meskipun agak merinding, ia membuka pintu itu kemudian menjulurkan kepalanya untuk mengintip. Ternyata benar, ada seorang mahasiswi sedang duduk memeluk lutut menangis di pojokan.

Alesha duduk perlahan di samping gadis itu, lalu menyodorkan sapu tangan. "Mau minum?" Alesha menyodorkan tumbler berisi teh manis hangat yang dibawanya dari rumah. Setelah menyeka air matanya, gadis itu menesap teh hangat yang diberikan Alesha. Aroma teh melati tercium menyegarkan.

"Sudah enakan?"

Gadis itu mengangguk.

"Kamu pasti sedang sedih banget ya? Kalau butuh teman buat cerita, saya mau kok mendengarkan."

Gadis itu menghela napas dalam-dalam untuk menghentikan sedu sedannya. "Sepertinya saya nggak bisa lulus kuliah, Bu. Orang tua saya pasti sangat kecewa." Mengecewakan orang tua kadang lebih menyakitkan daripada mengecewakan diri sendiri.

"Hmm ... apa masalahnya? Mungkin masih bisa kita usahakan."

"Saya sudah tiga bulan kabur dari dosen pembimbing, Bu. Terakhir bimbingan, saya diminta revisi banyak banget. Saya nggak ngerti harus gimana dan nggak tahu apa yang harus dikerjakan. Sekarang saya sudah nggak berani menghubungi dosen pembimbing lagi. Takut dimarahin."

"Siapa dosennya?"

"Prof. Emryn."

"Memangnya beliau pernah marah-marah sebelumnya?"

"Nggak pernah sih, Bu, tapi semua orang tahu kalau beliau sangat ketat. Prof. Emryn juga bilang kecewa dengan hasil pekerjaan saya. Katanya draft yang saya tulis itu isinya sampah semua."

Dasar Emryn, tega banget dia ngatain hasil jerih payah orang sampah. Apa dia pikir semua orang sejenius dia? Apa nggak ada kalimat yang lebih memotivasi gitu buat disampaikan ke mahasiswa?

"OK, mungkin saya bisa bantu melihat bagaimana cara merevisi skripsi kamu. Tapi kamu harus janji untuk berani menghubungi Pak Emryn lagi. Kabur itu nggak akan ngasih solusi."

"Tapi ... gimana kalau Pak Emryn marah dan nggak mau ketemu saya lagi, Bu?"

"Coba dulu aja, kamu harus berani menghadapi masalah ini dan mengakui kesalahan. Feeling saya ... Pak Emryn juga bukan tipe orang yang bakal meninggalkan mahasiswanya cuma karena pernah kabur tiga bulan. Ya mungkin kamu bisa jadi diomeli di awal, tapi setelah itu selesai. Diomelin sedikit tidak akan bikin dunia kiamat kan?"

"Iya ya, Bu. InsyaAllah saya coba memberanikan diri."

"Good. Kalau gitu gimana kalau kita diskusi nanti sore di perpustakaan? Siapin draft yang harus direvisi ya?"

"Siap, Bu. Makasih banget ....." Mata gadis itu berkaca-kaca, tapi kali ini karena bahagia, ada secercah harapan yang baru saja dilihatnya. Harapan adalah hal yang bisa membuat seseorang tetap bertahan meskipun dalam situasi yang sulit.

"Oh ya, nama kamu siapa?"

"Radinka, Bu."

Sore harinya, Alesha sengaja datang lebih awal ke perpustakaan yang terdiri dari enam lantai itu. Ia memilih meja di pojok dengan kapasitas empat orang di lantai dasar. Di ruangan ini para mahasiswa masih diperbolehkan untuk berdiskusi dalam volume yang wajar. Beda dengan lantai lainnya yang benar-benar sunyi. Hingga suara detak jarum jam pun bisa terdengar dengan jelas.

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang