JANGAN DIA KUMOHON

82 11 1
                                    

Sejak peristiwa malam itu, Emryn memutuskan untuk bersikap profesional dengan Alesha. Apalagi Alesha sudah tak pernah lagi menceritakan masalah pribadi keluarganya. Obrolan mereka hanya seputar proyek dan penelitian, khususnya membahas proposal riset Alesha sebagai mahasiswa bimbingannya. Kini, untuk Alesha sudah kembali berlaku aturan 5 menit.

"Udah lo baca semua jurnal yang gue kirim pekan lalu? Kok gue belum terima summary-nya?" Emryn bertanya tanpa menatap wajah Alesha, hanya menggulung layar PC. Mencari email dari Alesha.

"Oh iya, sorry, Em, masih ada satu jurnal lagi yang belom sempet gue baca."

"Kalau belum tuntas, kita reschedule aja jadwal bimbingannya. Gue berharap kita ada progress pekan ini." Emryn datar. "Waktu lo dua menit lagi, ada pertanyaan?"

Alesha menggeleng.

"Ya udah, ketemu lagi besok aja, ya. Jam yang sama?"

"Oke."

Alesha sedang merapikan dokumennya saat sebuah ketukan terdengar dari pintu. "Masuk." sahut Emryn.

Sekretaris Emryn muncul, "Maaf, Pak, ada kurir yang mencari bu Alesha. Ada di sini kan pak? Katanya harus cepat dan harus diterima langsung."

"Iya, ada. Suruh masuk aja."

Kurir itu membawa buket bunga mawar yang besar. Dengan menunduk-nunduk dia masuk ke ruangan Emryn. Mata Emryn menyipit,

"Permisi, dengan bu Alesha? saya mengantarkan bunga dari Pak Ardi. Tolong tandatangan di sini, Bu."

Emryn merasakan Alesha menoleh ke arahnya sejenak, tapi Emryn berusaha tetap melihat pada si kurir. Ia sempat membaca kartu merah jambu yang menyembul di tengah-tengah rangkaian bunga.

Semoga harimu penuh kegembiraan,

Ardi.

Emryn menggigit bibir bawahnya.
Alesha dengan kikuk menerima bunga itu, lalu mendekapnya.
"Sorry, jadi di kantor elu gini."

"Nggak apa-apa. Jadi, elu mau balikan sama Ardi?" Emryn berusaha mengatur suaranya setenang mungkin.

"Gue belum tau, Em." Alesha menjawab dengan suara pelan.

Emryn mengangguk-angguk.

"Makasih ya, Em. Gue pamit dulu. Besok jam 14.00 ?"

"Oke"

Emryn memfokuskan pandangannya pada layar. Berusaha tak menatap Alesha sampai pintu kantornya berbunyi klik. Tanda sudah ditutup rapat.

Huufh

Lelaki itu melemaskan punggung pada kursi kerjanya yang besar dan empuk. Tapi tak lama. Emryn lalu melangkah tenang ke sudut musik, memasang headphone, menyalakan drum elektriknya. Ia mendongakkan kepalanya ke langit-langit, menghirup udara dalam-dalam, lalu mengangkat dua stik drum favoritnya, dibeli saat kunjungan ke Amerika dua tahun yang lalu. Mendadak dihantamnya set drum di depannya sekuat tenaga, setengah jam non stop dia memainkan irama-irama cadas. Berakhir membanting dua stik malang itu  hingga patah di lantai .

Keringat Emryn mengucur deras, nafasnya memburu. Ditenggaknya air dingin. Ia menghembuskan napas. Perasaannya terasa lebih baik sekarang.

Matanya segera menatap layar ponsel yang berkedip-kedip. Mungkin sejak tadi ponselnya itu meraung. Sebuah nama muncul di layar. 'Rezha'

Emryn segera mengangkatnya, sebuah suara anak lelaki yang masih belum akil baligh terdengar.
"Om, aku mau ke kantor Om, boleh nggak? Aku nggak mau pulang."

Emryn menegakkan punggungnya, "Rezha dimana?"

"Di depan pintu kantor Om. Aku tadi jalan kaki dari sekolah. Aku juga nggak mau ketemu Mim."

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang