COLLAPSE

76 13 2
                                    

Perceraian dengan Ardi bagi Alesha adalah titik nadir dalam hidupnya. Namun, ternyata ia salah, perpisahan yang menyakitkan itu belum titik terendah.  Masih ada lembah yang lebih dalam lagi. Masih ada topan setelah badai.
Pagi itu, Alesha memijat-mijat keningnya, kepalanya sakit sejak tadi malam. Badannya mulai terasa meriang. Namun, ia tetap harus mengantar anak-anak ke sekolah dan baru bisa beristirahat setelah itu.

Saat Alesha menyiapkan bekal, tiba-tiba tampak beberapa orang berpakaian hitam-hitam memenuhi pekarangan rumahnya. Beberapa di antara mereka sibuk bertelepon, sisanya menghisap rokok dengan asap yang mengepul-ngepul.

Salah seorang laki-laki itu menekan bel. Namun, Alesha tidak berani membukakan pintu. Anak-anak dimintanya untuk beraktivitas dalam senyap, agar tidak menarik perhatian orang-orang di luar. Tampaknya mereka tak menyerah. Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu di gedor. Mereka memanggil-manggil nama Ardi dengan lantang.

Alesha terdiam, lututnya terasa lemas. Ia berusaha mengontak Ardi, tetapi tidak berhasil. Bahkan, nomor teleponnya tidak aktif. Perempuan itu semakin gelisah dan ketakutan. Entah mengapa di saat genting, Ardi selalu saja susah dihubungi.

"Mim, ngapain menghubungi Pip lagi sih? Pip kan nggak pernah ada kalau kita lagi kesusahan." Rezha berkomentar sewot.

"Ssst ... nggak boleh gitu, Rezha! Orang-orang itu kan nyari Pip."

"Mim, di depan juga ada mobil polisi," bisik Satria yang baru mengintip dari lantai 2.
Terdengar suara bel berbunyi berkali-kali. Namun, Alesha masih ragu untuk membukakan pintu. Tiba-tiba ponsel Alesha bergetar, ada panggilan dari Emryn. Sesaat hatinya terasa lega melihat nama itu muncul di layar ponselnya.

"Sha, tolong buka pintunya, gue ada di luar." Suara Emryn terdengar resah. Rupanya Satria berinisiatif menghubungi Emryn sejak pertama kali orang-orang asing itu datang. Sebagai anak laki-laki tertua di rumah itu, ia merasa bertanggung jawab melindungi ibu dan adik-adiknya. Satu-satunya sosok yang terpikir olehnya bisa dan diandalkan untuk membantu adalah Emryn.

"Sha, kalian baik-baik aja, kan?" Emryn langsung masuk memeriksa kondisi mereka semua. Lelaki itu tampak berangkat terburu-buru. Ia Hanya mengenakan T shirt dan celana training.

"Apakah benar ini rumah Bapak Ardi Titan Bimasena?" Tanya seorang polisi yang berdiri di samping Emryn.

"Benar, Pak." Alesha mengiyakan, bagaimana pun saat ini rumah itu masih atas namanya dan Ardi.

"Sesuai dengan surat pemberitahuan sebelumnya, rumah ini akan kami sita, karena Pak Ardi tidak membayar kewajiban utangnya. Beliau juga tidak bisa dihubungi dan ditemukan dimanapun."

Alesha terperanjat. Jantungnya terasa berhenti berdetak beberapa saat. Rumah ini adalah tempat tinggal satu-satunya. Kalau disita dia tidak tahu harus pindah ke mana.

"Kamu pernah menerima surat peringatannya, Sha?" Emryn ikut bertanya.

Alesha menggeleng. "Saya bahkan nggak tahu kalau rumah ini dijadikan jaminan utang, Pak." Tubuh Alesha bergetar. Selama ini memang dia tidak pernah memeriksa keberadaan sertifikat rumah itu. Ia hanya melihat salinannya di lemari dokumen. Alesha juga tidak pernah merasa menandatangani surat persetujuan untuk mengagunkan rumah, yang dibangun di atas tanah warisan orangtuanya itu. Akan tetapi dia ingat, beberapa kali pernah diminta menandatangani blanko kosong oleh Ardi. Ia merasa bodoh  tidak membaca dengan detail isi blanko itu. Pantas saja Ardi selalu menunda-nunda jika ditanya tentang balik nama.

"Semua surat dialamatkan ke kantor Pak Ardi, Bu."

Kepala Alesha terasa semakin pening. Kakinya seperti melayang tidak lagi menginjak tanah.
"Tidak bisa ada tambahan waktu lagi, Pak? Lebih baik diselesaikan saat ada Pak Ardi di sini." Emryn ikut berbicara.

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang