LESAT

77 11 2
                                    

"Nggak gue sangka, mendapatkan cinta seorang janda lebih sulit daripada mendapatkan cinta seorang gadis ...." -Emryn-

-----------------------------------------------------

"Familiarity." Rania mengikat rambutnya, lalu kembali mengecek lembar demi lembar kertas ujian.

"Maksud lo?" Emryn mengunyah lagi sekeping cokelat. Biasanya dia sangat menjaga diri untuk tidak mengkonsumsi makanan manis, tapi kali ini ia malah sengaja mengambil cokelat almond berkadar 50% dari lemari makanan Rania. Ia baru saja selesai menceritakan percakapannya dengan Alesha kemarin dan tiba-tiba lidahnya merasa sangat butuh makanan manis.

"Alasan kenapa manusia susah move on walau berada dalam kondisi yang buruk adalah familiarity. Otak kita menyenangi pola, pola yang sudah dikenal lebih membuat nyaman. Bahkan secara tak sadar, orang bisa memilih melakukan yang familiar daripada yang benar. Contohnya, orang yang dibully, akan membully. Anak dari orang yang diselingkuhi akan berselingkuh, atau jadi korban perselingkuhan."

"Hey, gue anak korban perselingkuhan tapi nggak ada niat selingkuh. Analisis apaan itu! Huu!" Emryn melempar bungkus cokelatnya ke arah Rania. Rania dengan sigap menangkis bungkus itu dengan pulpen sehingga mengenai kening Emryn dengan cukup keras.

"Aw! Gila lu, prefrontal cortex ini sumber penghasilan utama gue, jangan sembarangan selepet!"

"Bodo amat! Siapa duluan? Bukan itu maksud gue. Maksud gue, Alesha udah 12 tahun hidup bersama Ardi. Itu kondisi yang familiar buat dia. Sekarang dia hidup sendiri, cari duit sendiri, ini semua nggak familiar buat dia. Dengan kata lain, perjuangan lo memang masih berat Em."

Emryn bertopang dagu di meja Rania. "Nggak gue sangka, mendapatkan cinta seorang janda lebih sulit daripada mendapatkan cinta seorang gadis ...."

"Wah, gadis? Siapa? "

"Elu?"

"Kampret lu! Gue udah mau kawin ya, jangan berani-beraninya lu ngomong gitu lagi! Apalagi nanti di depan Gibran! Dasar laba-laba liar!" Rania berkacak pinggang. Emryn terkekeh.

Suara Adzan Dzuhur terdengar sampai ruangan Rania. Emryn tiba-tiba berdiri. "Gue sholat dulu di masjid kampus, lah. Thanks coklatnya, ntar gue ganti yang lebih enak."

Rania terbengong, "Sejak kapan lu jadi rajin ke masjid?"

Emryn membusungkan dadanya yang bidang, merapikan blazer coklat yang melekat di atas t-shirt putihnya. "Ehem, Seorang ayah harus bisa menjadi panutan spiritual bagi anak-anaknya."

"Eciee, dahsyat nian kekuatan cinta. Rasanya setahun lalu ada yang bilang mau menikahi karir." Rania menggelengkan kepalanya. "Ya udah, bareng lah, gue juga udah lama nggak ke masjid." Rania meraih sebuah tas mukena batik dari rak buku, melepas sepatu pump heelsnya untuk berganti dengan sandal yeezy.

Perjalanan ke masjid perlu waktu sekitar sepuluh menit. Emryn memanfaatkannya untuk berdiskusi mengenai proyek terbaru mereka. Saat Rania sedang serius menyampaikan idenya, sebuah suara lain tiba-tiba terdengar bagai gema yang memenuhi pendengaran Emryn. Ini bukan suara wanita biasa, ini melodi yang lebih indah dari simfoni nomor 9 Beethoven.

"Assalamu'alaikum."

Senyum Emryn mendahului pandangannya. Alesha berada di depan mereka. Tapi bibirnya tersenyum penuh arti sambil memandang dirinya dan Rania bergantian. Refleks, Emryn menjauhi Rania selangkah ke kanan.

"Waalaikumsalam, mau kemana, Sha?" Emryn tak mau menyia-nyiakan kesempatan menyapa.

"Ke lab, ada yang mesti dicek jam 12 tepat. Kalian mau ke masjid?" Alesha melirik kaki Rania yang hanya bersandal.

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang