DUA WANITA

93 12 1
                                    

"Kamu kuat sekali, Emryn. Kamu hebat." -Alesha-

--------------------------------------------

Penat segera menguap dari badan Emryn begitu menghirup aroma dedaunan hijau yang baru dibasuh hujan. Ia menutup pintu Melissa, mobil Karimun tuanya, kendaraan yang hanya digunakan saat tidak sedang diburu pekerjaan. Hari ini jadwal rutin Emryn menemani bundanya berbuka puasa di Kampung Tentrem, rumah sakit psiko-geriatri tempat bundanya dirawat. Ia sengaja datang lebih sore, karena akan berdiskusi dengan para dokter mengenai perkembangan kondisi beliau. Kali ini tangan kanannya memegang buket bunga krisan, sementara tangan kirinya menenteng menu wajib : Sate Ayam Mang Aip.

Langkah Emryn terhenti sejenak saat melewati sebuah mobil merah mungil yang juga terparkir di sana. Ia segera mengenali gantungan boneka beruang di spion dalam.

Seperti yang telah ia perkirakan, demensia yang diderita ibunya belum mengalami perkembangan berarti. Malah, tim dokter menduga kondisi beliau semakin menurun. Emryn pasrah. Dia memang tak pernah menaruh ekspektasi tinggi. Melihat ibunya masih bisa makan dan mengobrol saja sudah membuatnya bahagia.

Emryn merundukkan tubuhnya sedikit agar bisa bercermin di kaca jendela. Ia merapikan rambut pendeknya, blazer, dan khusus hari ini, ia mengenakan kemeja dan dasi, bukan T shirt seperti biasanya. Pekan lalu, bundanya bermimpi menyaksikan pernikahan Emryn. Lalu, beliau bilang ingin melihat dirinya, yang saat itu dikira dokter magang baru, mengenakan jas lengkap. Entah bundanya masih ingat atau tidak dengan request itu, yang jelas janji adalah janji.

Emryn baru hendak berlari menghampiri sang bunda yang tengah bersantai di taman bunga, saat dia sadar seorang wanita cantik tengah duduk di samping beliau. Mereka sedang mengobrol asyik, seolah teman lama yang baru bertemu lagi. Emryn merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Disentuhnya layar yang tengah membuka aplikasi kamera.

Sempurna!

Dua wanita itu  berhadapan, saling tersenyum lebar. Pemandangan ini membuat hati Emryn terasa hangat, bagai diselimuti kain beledu yang lembut. Satu adalah kekasih terdalamnya, Bunda. Satu lagi, cinta pertamanya.

"Alesha?"

Mata bulat Alesha mengerjap pelan, wanita itu sejenak tertegun, seolah tak mengenali lelaki yang kini berdiri di depannya. Emryn menatap tiap kerjap itu seolah dalam video gerak lambat, kakinya terpaku, detak jantungnya berlompatan.

"Emryn? Tumben cakep, abis kondangan di mana?" Alesha tertawa meledek. Suara tawanya menyadarkan Emryn.

"Eh, ehem, enggak. Request spesial dari bunda."

"Bunda?" Alesha menoleh ke arah wanita yang sedari tadi ia ajak bicara, "Ibu Riska?"

Ibu Riska memandang Emryn dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan tatapan heran, "Kamu siapa?"

"Emryn, putra Bunda." Jawab Emryn dengan senyum terbaiknya. Alesha mengamati mereka dengan wajah kebingungan.

"Emryn? Ah kamu bercanda, Emryn kan masih SMP. Kemarin baru tunjukin ibu piala karate-nya."

Emryn mengangguk. Usianya lebih muda lagi hari ini. "Jadi aku siapa ya, kira-kira?"

"Kamu pasti calon pengantin. Ganteng banget. Kalau Emryn sudah besar, pasti seganteng kamu." Bunda Emryn tersenyum senang sambil menangkupkan dua tangannya di depan bibir beliau. Emryn lega, tak sia-sia usahanya berkeliling mal menemukan kemeja dan dasi yang pas, juga mampir dulu ke barber shop untuk menata rambut.

"Eh, sebentar, kamu ke sini karena mau menjemput mbak cantik ini, ya? Aduh, maaf ya Ibu keasyikan ngobrol, ibu nggak tahu kalian mau menikah. Pasti bunga itu untuk mbak ini kan?"

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang