BOHONG DI ATAS BOHONG

77 11 4
                                    

"Menjawab pesan anak-anak teman" adalah agenda baru yang tertulis di kalender digital Emryn  setiap jam 17.00. Emryn menganggapnya semacam bentuk relaksasi yang baru setelah seharian bekerja, sebelum malam datang dan ia kembali membenamkan diri dalam lautan proyek penelitian.

[Om Em, tadi aku dapat bintang emas soalnya hapal perkalian 2!]
[Om, bagian reffrain nya susah banget. Coba om liat ya video latihanku, terus kasih tau apa yang harus dibenerin]
[Om, ada temen sekelas yang bilang suka sama aku, aku harus gimana?]

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu betul-betul asyik dibalasnya sambil rebahan di sofa, tak butuh banyak pikiran, tapi jelas butuh waktu. Tak apa-apa, buat mereka Emryn siap melayani chat selama 1 jam penuh. Karena jam 18.00, dia harus mulai aktivitas malam.

Dan... karena jam 18.00 malam, Emryn akan berusaha mengechat ibu mereka,
[Hei Sha, barusan anak-anak chat, gemes banget.]
Dan hatinya akan cukup girang bila sebuah balasan muncul.
[Ok thanks Em, tadi aku udah lihat di hp anak-anak.][jempol]
Yah, gitu doang balesannya. Nanya kabar gue kek, apa gue udah makan kek.
Nasib... nasib, ini sih lebih ngenes dari friendzone.
[Jangan lupa, besok bimbingan di ruangan gue jam 11.00-11.10. Harus ke gue ya, nggak bisa ke Rania untuk bahasan ini.]
[OK]

Sepuluh menit sudah cukup. Sangat cukup buat Emryn. Setidaknya bisa mengetahui Alesha sehat, berat badannya tidak turun pertanda tidak stress, penelitiannya ada progress, paparannya semakin baik .... Bisa mendengar suaranya, senyumnya, kerjap matanya.

Astaghfirullah. Emryn mengusap mukanya, buru-buru mengambil wudhu.

***
Emryn menyalakan kamera di laptopnya, membenahi kacamata, rambut cepaknya yang baru kemarin dicukur, dan tak lupa berlatih senyum. Akhirnya ketukan yang ditunggunya sejak kemarin tiba juga.

"Masuk!" Emryn segera menampilkan dokumen draft proposal riset yang semalam dikirim Alesha. Ia berusaha tetap menatap layar sampai Alesha duduk di depannya.

"Coba lo presentasiin dulu hasil tes yang terakhir."

Alesha baru saja akan membuka mulutnya saat ketukan keras dan cepat terdengar dari pintu. Dahi Emryn mengernyit, sekretarisnya muncul dengan wajah tegang.

"Pak, ada polisi, mencari Bu Alesha."

Emryn menatap Alesha. "Mau gue temenin?"

Alesha menggeleng. "Sorry, gue ijin nemuin mereka dulu."

Emryn mengangguk, perasaannya tidak enak. Dia mengantar Alesha ke pintu untuk melihat apa penyebab polisi sampai mendatangi Alesha di tempat kerjanya.

Dua orang polisi berpakaian preman sudah ada di depan pintu. "Saudari Alesha, mantan istri Saudara Ardi Titan Bimasena?"

Alesha mengangguk.

"Tolong ikut kami ke rumah sakit, kami butuh kerjasama ibu untuk mengidentifikasi jenazah yang kami duga mantan suami ibu. Ibu satu-satunya orang terdekat yang kami temukan karena tidak ada catatan anggota keluarga lainnya."

Emryn melihat wajah Alesha menjadi pucat. Segera saja ia bertanya kepada petugas berbadan besar itu, "Maaf Pak, apa saya boleh menemani? Saya temannya."
"Silakan, bila ibu Alesha berkenan."
Emryn menatap Alesha, wanita itu mengangguk. Mereka pun menumpang mobil polisi yang meraungkan sirenenya membelah kemacetan kota. Alesha hanya terdiam sepanjang perjalanan.

Emryn bertanya-tanya, seperti apakah kematian Ardi, sehingga perlakuan polisi sebegini serius?

Kamar jenazah itu dijaga oleh beberapa orang petugas polisi. Seorang dokter forensik muda menyambut mereka. Khususnya Alesha. Dengan senyum simpati, ia mempersilakan Alesha masuk.

Ruangan itu dingin, bau formalin terasa menusuk hidung. Di tengah-tengah, terlihat sesosok jasad yang ditutup kain putih. Polisi yang mendampingi mereka meminta Emryn menunggu di mulut pintu sementara Alesha mendekati jenazah itu.

Saat kain penutup wajahnya dibuka, mata Alesha langsung terbelalak. Ia menutup mulut dengan kedua tangannya agar tak sampai berteriak. Kemudian ia jatuh berlutut sambil berpegangan pada meja besi panjang yang dingin, tempat mayat itu terbujur. Ia menangis.

Emryn hendak melangkah mendekatinya, tapi polisi di sebelahnya menahan. Tak lama seorang polisi wanita masuk, lalu menuntun Alesha keluar. Dokter forensik muda itu mengajak Alesha ke ruangannya, Emryn mengikuti.

"A... ada apa dengan mantan suami saya, Dok? Kenapa .. mayatnya ..." Alesha berusaha mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang bertumpuk di kepala.

"Silakan ibu minum dulu." Katanya sambil mendekatkan secangkir teh manis hangat ke arah Alesha. Ia juga mempersilakan Emryn minum.

Polisi wanita yang tadi menuntun Alesha meletakkan  sebuah map di meja. Ia membuka map itu. Di dalamnya ada foto-foto dokumentasi sebuah mobil yang tengah diangkut sebuah kapal yang dilengkapi mesin derek dari sebuah sungai besar. Emryn segera mengenali mobil City car hitam itu. Mobil yang digunakan Ardi saat terakhir ia melihatnya

Petugas memperlihatkan foto kondisi Ardi saat ditemukan mati dalam kondisi masih terikat sabuk pengaman di jok mobil. Alesha kembali menutup mulutnya, menahan teriakan.

"Kami menerima laporan sebuah mobil yang terjun ke sebuah sungai di Kalimantan Selatan, dini hari, lima hari yang lalu. Setelah jenazah diotopsi, kami tidak menemukan benda asing di saluran pernafasan korban. Juga tidak ada tanda-tanda usaha untuk membebaskan diri. Dengan kata lain, korban diduga telah meninggal sebelum mobil itu tenggelam ke dasar sungai. Beruntung ada saksi mata, bila tidak, mungkin tak ada yang sadar bahwa mobil itu berada disana." Dokter forensik mencoba menjelaskan dengan hati-hati.

Alesha hanya terdiam, jelas ia shock.

"Maaf, ibu Alesha tahu bisnis yang dikerjakan mantan suami ibu, selain pekerjaan formalnya?" Tanya petugas polisi di samping dokter itu.

Alesha menggeleng. Emryn mengerti, kenyataannya mereka memang tak pernah benar-benar tahu. Yang mereka tahu,  apa yang Ardi tampakkan di depan Alesha hanyalah  kebohongan demi kebohongan.

"Kami menduga ada keterlibatan mafia judi dan prostitusi online di belakang kematian Pak Ardi. Kami sedang terus melakukan penyidikan. Jadi, kami harap ibu tidak keberatan bila sewaktu-waktu kami panggil sebagai saksi."

Alesha mengangguk, "Saya bersedia, tapi saya khawatir saya tak bisa terlalu banyak membantu karena saya sama sekali tidak tahu menahu tentang aktivitas bisnis mantan suami saya."

Petugas itu tersenyum maklum, kemudian meminta Alesha menandatangani beberapa dokumen sebelum kemudian membolehkannya pulang.

Di perjalanan pulang, Alesha hanya terdiam menatap jendela. Emryn sudah menawarinya minuman dan cokelat yang dikantonginya dari ruangan Rania tadi pagi. Tapi dia menggeleng.

"Lu nggak apa-apa, Sha?"
Ia mengangguk, "Gue cuma pengen cepet ketemu anak-anak. Gue ijin hari ini ya, Em?"
"Tenang, itu bisa diatur."
"Em, bukankah orang yang mati tenggelam itu syahid?"
Pertanyaan Alesha membuat Emryn bingung,
"Ardi tidak mati tenggelam, Sha, lu denger sendiri tadi."
"Lu jangan cerita apa-apa ke anak-anak tentang hal ini, Em. Gue pengen anak-anak mengenang ayahnya meninggal dalam keadaan baik. Gue akan bilang Mas Ardi meninggal tenggelam saat dalam perjalanan mengusahakan nafkah untuk mereka."

Emryn tak bisa berkata-kata lagi. Masih haruskah gue cemburu pada bajingan yang sudah mati?

***

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang