LUKA MASA LALU

75 12 0
                                    

Perceraian memang tidak pernah mudah, mungkin itulah salah satu hikmah mengapa hal ini dibenci oleh Allah. Sudah delapan bulan berlalu, tetapi luka di hati Alesha masih belum juga kering. Setiap kali teringat pada Ardi, air matanya kembali menetes, terutama di malam hari. Hatinya sulit untuk memaafkan Ardi tapi di saat yang sama dia juga merindukan lelaki itu.

Perasaan insecure pun masih menghantui pikirannya, meskipun selama ini berusaha untuk ditutupinya. Apakah dia mampu membesarkan ketiga anak itu seorang diri? Apakah anak-anak yang sudah mulai remaja itu bisa tumbuh dengan baik tanpa figur seorang ayah? Alesha mengalami gangguan tidur hampir setiap malam, meskipun siang harinya dia sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliah dari Emryn. Karena itulah dia harus rutin mengikuti terapi dengan psikiater. Sebagai ibu tunggal, Alesha merasa harus punya kondisi emosional yang stabil, agar bisa membesarkan anak-anak dengan baik.

Alesha kembali berkunjung ke Rumah Sakit Kampung Tentrem yang terletak di pinggiran kota. Suasananya yang sepi serta aroma lavender yang terhampar di halamannya, memang membuat perasaan lebih relaks. Sesuai betul dengan namanya, rumah sakit ini memberikan ketentraman, meskipun baru memasukinya. Pantas saja Bunda Emryn betah bertahun-tahun dirawat di sana.

    Namun, keheningan di rumah sakit itu terusik dengan datangnya dua orang polisi, yang diikuti seorang laki-laki tengah berjalan cepat di belakang mereka. Alesha sangat mengenal lelaki itu, bahkan hanya dengan sekadar melihat punggungnya dari jauh. Tanpa pikir panjang Alesha segera menyusul dan mendekati mereka.
    "Mas Ardi? Kenapa ada di sini?"
    Ardi menoleh, wajahnya tampak kusut. "Polisi menemukan ayahku yang hilang dua puluh tahun lalu. Tapi aku belum ketemu langsung."
    Alesha terperanjat. Mengapa selama ini Ardi bilang kalau ayahnya sudah meninggal? Dua belas tahun menikah, memang tidak banyak yang diceritakan tentang keluarganya. Ya Allah ... kebohongan apa lagi yang masih disimpan oleh Ardi?
    "Aku boleh ikut bertemu beliau, Mas?" Alesha penasaran. Bagaimana pun pria itu adalah kakek dari anak-anaknya.
    Ardi hanya mengangguk.
Lima menit kemudian datang seorang dokter yang usianya sekitar llima puluh tahun. Ia memperkenalkan diri sebagai dr. Rosie, psikiater yang memeriksa Bapak Ali Azis, yang diduga sebagai ayah Ardi.
"Pak Ardi, bisa Bapak ceritakan bagaimana terakhir kali Bapak mengingat ayah Bapak?" tanya dr. Rosie setelah mempersilakan Ardi dan Alesha untuk duduk di kursi tamu dalam ruangannya.
Ardi terdiam sejenak, ia tampak mencoba mengingat sambil menyusun kata-kata. Alesha duduk di sebelahnya. Ardi menarik napas. Sebuah essential oil diffuser mengeluarkan aroma lemongrass yang menguar ke seluruh ruangan. Aroma itu mengingatkannya pada aroma rumah sederhana milik ayahnya, tempat ia tinggal saat kelas 3 SMP. Ardi mulai bercerita, mengupas masa lalunya.
Sudah setahun berlalu semenjak Ayah Ardi di PHK. Pagi jadi kuli bangunan, malam jadi security. Di antara jam kerjanya, Ayah masih pula sempat memasak untuk Ardi dan Ibunya.
Ibu Ardi juga berusaha untuk hidup secukup mungkin sesudah Ayahnya di PHK. Kalau bukan karena PHK, mungkin ibunya takkan menggunakan air rebusan sereh untuk mengepel. Sereh tersedia banyak sekali di belakang rumah. Selain itu, ia sangat mudah ditanam. Rasanya, aroma sereh sampai  menempel di tubuh Ardi.
"Ardi, mulai besok, kamu sekolah jalan kaki, ya. Ibu tidak bisa mengantar kamu." kata Ibu suatu sore sambil mengepel lantai.
"Lho kenapa, Bu?"
"Motor kita sudah dijual," kata Ibu lagi tanpa menoleh. "Buat bayar sisa gadai rumah kita," lanjut Ibu masih dengan wajahnya menghadap ke lantai, padahal Ardi tak bertanya.
Ardi mengangguk saja. Jaraknya ke sekolah bisa ditempuh 40 menit jalan kaki, cuma harus berangkat lebih pagi. Ibu juga menyiapkan bekal, agar Ardi tak perlu jajan. Sisi baiknya, Ardi bisa sangat berhemat dan memanfaatkan waktunya buat belajar, tapi payahnya, Ardi tidak bisa nongkrong bersama teman-temannya di kantin. Ardi ikhlas saja, toh dia ingin masuk SMU Negeri yang baik.
Usaha Ardi tak sia-sia. Begitu hasil ujian masuk SMU diumumkan, Ardi langsung berlari ke rumah. Ingin segera ia berikan hasilnya kepada Ayah dan Ibu, ingin sekali melihat mereka bisa tertawa bangga, setelah melihat mereka selalu bersedih dan menangis. Bahkan Ayah dan Ibunya sekarang jarang ia lihat saling berbicara.
"Assalamu'alaikum..." Ardi menyapa dengan bersemangat, Tapi tak ada seorangpun yang menjawab. Ardi mencari ke seluruh penjuru rumah petak yang hanya seluas 18 meter persegi itu.  Nihil. Semua ruangan bersih dan rapi, makanan pun terhidang di meja. Pasti Ayah memasaknya sebelum pergi.
Akhirya Ardi memutuskan makan saja dulu dengan nasi, tempe goreng, dan cabai. Di tengah-tengah makan, pintu depan dibuka dengan sangat tiba-tiba. Ardi terkejut. Dilihatnya Ayah datang dengan napas tersengal, seolah habis mengejar-ngejar sesuatu.
"Ayah, kenapa?" tanya Ardi sambil memegang amplop pengumuman yang ia simpan di depan piringnya untuk segera ia tunjukkan.
Ayahnya duduk di depan Ardi sambil mencoba mengatur napas. Setelah tenang, pria tegap berkumis tebal itu bercerita bahwa semalam Ibunya marah, karena Ayah dikeluarkan dari pekerjaannya sebagai security. Tadi pagi Ibunya tiba-tiba pergi entah kemana. "Ayah akan coba ke rumah nenekmu, mungkin ibu di sana. Kamu jaga rumah ya!" kata Ayah  Ardi sambil langsung lalu. Pintu tertutup. Ardi tertunduk sambil mendekap amplop yang belum sempat disampaikan kepada ayahnya.
Hingga malam, ayahnya belum juga pulang. Ardi sudah membersihkan seluruh rumah bahkan memasak makan malam. Anak remaja yang belum pula dewasa itu menunggu hingga larut sampai tertidur, masih memeluk surat penerimaannya di SMU Negeri Kabupaten.
Cicit burung-burung membangunkannya. Ardi baru sadar bahwa biasanya ibu membangunkannya untuk sholat Shubuh. Saat Ardi hendak beranjak wudhu, tangannya tak sengaja bertumpu pada sebuah amplop putih tebal. Itu bukan amplop pengumumannya. Amplop pengumuman masih rapi berada di atas tempat tidur.
Ardi membuka isi amplop lalu ternganga. Amplop itu berisi uang, banyak sekali. Sebuah surat menyertai surat itu. Itu tulisan tangan Ayah.
"Maafkan Ayah Ardi. Ini uang yang sudah ayah tabung selama setahun untuk bekalmu. Ibumu pergi, Ayah harus mencarinya. Ayah sudah menitipkanmu pada Nenek. Semoga Ayah segera kembali bersama Ibu."
Mata Ardi nanar. Ia melempar apa saja yang ada di dekatnya. Bantal, buku pelajaran, tas sekolah, bahkan gelas di meja belajarnya hingga hancur berkeping-keping. Ardi meraih surat pengumuman yang masih terlipat rapi. Hatinya sakit. Mereka yang ia perjuangkan ternyata meninggalkannya begitu saja. Dalam hati ia berjanji membuktikan bahwa dia akan jadi orang sukses, bukan untuk mereka, tapi buat dirinya sendiri!
"Begitulah, Dok. Belakangan Nenek saya bercerita bahwa sebenarnya Ibu saya minta cerai. Ayah saya memohon agar Ibu tidak pergi, tapi rupanya Ibu meneriakinya dan mengatakan banyak hinaan yang tidak pantas. Baru setahun kemudian, ibu saya pulang ke rumah nenek. Bukan dengan Ayah, tapi dengan suami barunya."  Ardi mengakhiri cerita dengan tatapan kuyu.
Alesha tertegun mendengar kisah Ardi. Meskipun selama ini dia dibohongi, tapi Alesha tak kuasa untuk tidak memaafkan Ardi untuk masalah ini. Ia tidak pernah mengira ada lubang yang sangat besar di hati mantan suaminya itu. Lubang yang harusnya diisi dengan kasih sayang keluarganya.
"Permisi, Dok. Pak Azis sudah bangun." Seorang perawat melongok dari pintu ruangan.
"Pak Ardi, setelah mendengar cerita Bapak, saya makin yakin dengan diagnosis semula. Pak Azis adalah Pak Riza. Kemungkinan sebuah kecelakaan merusak bagian otaknya sehinggga membuat beliau kehilangan episodic memorynya. Jadi, beliau memiliki pengetahuan, tapi tak mampu mengingat. Dari cerita Bapak, bila beliau menjauh dari keluarganya,  mungkin saat kecelakaan itu terjadi beliau hidup sebatang kara, lalu memilih nama Ali Azis. " ujar dr. Rosie.
"Saya harap Pak Ardi berkenan menemu pasien Pak Ali Azis untuk melihat responnya." pinta dokter senior itu dengan lembut dan sopan.
"Baik," jawabnya pendek.
Perasaan Alesha bercampur baur. Geramnya telah berubah menjadi iba pada Ardi dan Ayahnya. Ia tak bisa membayangkan andai itu semua terjadi pada dirinya saat remaja. Jantung Alesha berdebar semakin kencang saat melihat sosok Ali Azis. Semua orang yang melihat pria tua itu pasti mengakui kemiripan paras dan posturnya dengan Ardi. Tinggi badannya serupa, walau Ali Azis sudah bungkuk, bahu mereka sama sama bidang, bahkan struktur rahang mereka sama. Bagi Alesha, melihat Ali Azis seperti melihat Ardi 30 tahun ke depan.
Ardi tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia bahkan sempat menghentikan langkahnya saat semakin dekat dengan pria tua itu, hanya untuk mengatur napas.
"Adik ini siapa?" katan lelaki tua itu polos, dengan tatapan damai khas orang lanjut usia.
Ardi tak menjawab. Dia hanya mematung selama beberapa menit.
"Perkenalkan, saya Ardi." Akhirnya kata-kata keluar dari bibir tipis itu. Bahkan bibir mereka mirip.
"Saya Ali Azis," balasnya sambil menyodorkan tangan kepada Ardi. Ardi menyambut tangan tua dan keriput itu dengan cepat. Ardi menciumi tangan itu hingga bercucuran air matanya.
Sementara Ali Azis malah bingung. Dia hanya menepuk-nepuk pundak Ardi yang bergetar. Sungguh sebuah disinkroni.
Dokter Rosie akhirnya turun tangan untuk menarik Ardi dari Ali Azis. Polisi yang mendampinginya membantu merangkul Ardi.
"Kamu kenal saya, Nak? Maaf saya tidak ingat." Wajah Ali Azis kini berubah menjadi agak merasa bersalah.
Ardi menatap Ali Azis agak lama, "Tidak, saya hanya teringat ayah saya saat melihat Bapak." kata Ardi bergetar.
"Maaf dok,  saatnya pak Ali Azis menjalankan tes darah." seorang petugas laboratorium. dr. Rosie mengangguk lalu mempersilakan Ali Azis pergi.
Ardi masih berdiri di sana hingga panggung kakek tua itu menghilang di persimpangan koridor rumah sakit. Alesha hanya bisa memandang Ardi dengan rasa kasihan yang dalam. Ingin rasanya dia memeluk lelaki itu, sedikit mengurangi rasa sakit yang sedang dideritanya. Akan tetapi, saat ini ia tidak bisa melakukanya, karena Ardi sudah bukan suaminya lagi.
***

"Anak-anak, ayo cepat mandi dan sarapan. Sebentar lagi Pip datang menjemput kalian." Sejak bercerai, Alesha dan Ardi sepakat, anak-anak bisa bertemu dengan ayah mereka sekali sebulan. Biasanya Ardi akan menjemput mereka untuk makan bersama atau bermain ke taman hiburan. Alesha sebenarnya tidak ingin sering-sering bertemu Ardi, karena akan membuat sakit hatinya bertambah. Namun, anak-anak tetap berhak bertemu dengan ayah mereka. Apalagi Sabrina yang paling dekat dengan Ardi. Anak perempuan itu masih sering bilang kangen pada ayahnya, walaupun selama ini Ardi juga jarang ada di rumah. Mungkin benar ungkapan yang mengatakan kalau ayah adalah cinta pertama buat anak perempuannya. Sabrina sangat menyayangi ayahnya.
"Aku nggak ikut ya, Mim. Banyak tugas, terus besok ada ulangan juga." Satria muncul sambil menggigit tahu isi di meja makan.
Alesha tahu, Satria hanya membuat alasan. Sebagai anak sulung dia sudah lebih paham dengan kelakuan ayahnya yang tidak wajar. Bahkan, tempo hari Satria pernah memergoki Ardi sedang makan siang dengan Fina Pinkie Pie, lalu melaporkannya pada Alesha. Saat itu Alesha bergeming. Dia hanya meyakinkan Satria kalau ayahnya sedang ada meeting urusan pekerjaan.
"Boleh, tapi kamu yang bilang sendiri ke Pip, ya."
Tak lama Ardi datang. Sambil menunggu anak-anak siap-siap, lelaki itu menunggu di sofa. Alesha menyuguhkan secangkir teh dan beberapa potong gorengan yang dibuatnya pagi itu. Saat melihat Ardi muncul, Sabrina langsung berlari memeluk ayahnya, lalu langsung bercerita banyak hal tentang teman-temannya di sekolah.
"Thanks, Mim. Masakan kamu memang ngangenin ya." Ardi mencomot bakwan jagung kesukaannya.
Alesha hanya melirik sebenatar. Mengapa pujian semacam ini baru diucapkanya sekarang? Bukan dari dulu?
"Mas, kamu kapan ada waktu? Aku mau balik nama rumah ini. Kita harus ke notaris bareng-bareng."
Rumah yang mereka tinggali itu dibangun di tanah warisan dari orang tua Alesha yang dibangun dari nol dengan uang Ardi. Karena ukurannya luas dan lokasinya strategis, nilai jual rumah itu diperkirakan sampai 10 milyar. Notaris kenalan Rania menyarankan agar Alesha segera mengurus masalah balik nama properti itu. Karena, jika suatu saat Ardi pergi entah kemana, Alesha tidak akan kesulitan lagi mengurus hak kepemilikannya. Rumah itu adalah harta satu-satunya yang diberikan oleh Ardi setelah mereka bercerai. Alesha pun sudah menyepakatinya.
"Buat apa sih buru-buru? Biaya balik nama kan lumayan. Kamu punya uang sebanyak itu? Untuk rumah ini setidaknya seratus juta? Lagi pula aku kan nggak akan kemana-mana, Sha."
Alesha menghela napas. Saat ini dia memang masih bisa bertahan hidup dengan penghasilannya, meskipun harus jadi mengirit sana-sini. Anak-anak juga masih dibiayai oleh Ardi. Alesha sama sekali  tidak mau menggunakan uang anak-anak itu selain untuk keperluan mereka. Akan tetapi, dia tidak tahu sampai kapan akan bisa bertahan. Biaya bulanan rumah mewah itu sangat besar. Dia juga butuh biaya untuk membayar SPP kuliahnya tahun depan. Lalu, apakah Ardi benar-benar masih bisa dipercaya? Bagaimana kalau lama-lama dia mangkir dan tidak lagi membiayai anak-anak? Jika terdesak, hanya rumah itulah satu-satunya harta yang bisa dijual, lalu pindah ke rumah yang lebih sederhana.
"Sha, setelah kupikir-pikir lagi, memang selama ini aku yang salah. Aku benar-benar minta maaf. Kejadian Ibu yang lari dari rumah dan membuat ayahku juga menghilang, bikin aku overprotective sama kamu. Aku jadi sulit percaya dan takut dikecewakan seperti Ayah. Tapi aku bertekad buat memperbaikinya, Sha. Apa kita nggak bisa mulai lagi dari nol sama-sama?"
Alesha terdiam. Ardi memang korban ketidakharmonisan hubungan orang tuanya. Dia adalah remaja yang ditinggal pergi oleh orang tua yang tidak bertanggung jawab. Namun, tanpa sadar Ardi melakukan tindakan yang justeru menyakiti pasangan dan keluarganya sendiri. "Bagaimana kalau ternyata Mas masih punya problem yang sama dan mengulangi kesalahan yang sama lagi?" Alesha pun kini jadi sulit percaya pada Ardi, setelah sekian banyak kebohongannya yang terbongkar. Dan yang paling menyakiti hatinya adalah kekerasan psikologis yang dilakukan oleh Ardi. Dia tak pernah dihargai. Belum lagi masalah bisnis haram yang dibuat lelaki itu. Mata Alesha mulai mengembun.
"Ya, kita sama-sama berusaha, Sha. Aku nggak bisa hidup pisah sama kamu. Apa kamu nggak kasihan sama anak-anak? Mereka butuh orang tua yang lengkap. Kita nggak boleh egois kan?"
"Piiipiii ... aku udah siap! Hari ini kita mau kemana?" Sabrina yang sudah mandi mengenakan baju terbaiknya naik ke pangkuan Ardi. Ardi balas memeluk dan mencium ubun-ubun gadis kecil itu. Hati Alesha meleleh. Ini adalah pemandangan yang ingin dia lihat selama ini. Ardi benar, dia tidak boleh egois. Alesha harus mengalah demi kebahagiaan anak-anaknya.
***

Lima MenitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang