Bab 4 : Perempuan Pengganggu

88 6 0
                                    

"Maaaas! Maaaas! Banguuun!"

Langit masih berada di alam mimpinya ketika sebuah guncangan hebat dibarengi suara yang menggema keras menghempaskan tubuhnya hingga berbalik. Dilihatnya wajah itu lagi. Seringai kejam dari makhluk satu darahnya.

"Banguuuuun!!!"

Langit membuka kedua matanya dengan berat. "Tau gak sih, ini tuh hari libur?" Gerutunya. Dilihatnya wajah Mentari, sang pengganggu mimpi.

"Ada cewek cantik nyariiiin!" Jerit Mentari lagi.

"Aduuuuh! Ya udah ambil aja makanannya. Biasanya juga langsung balik!" Langit menghempaskan kembali tubuhnya di atas kasur.

"Bukan Kak Vina. Cewek lain! Makanya banguuun!" Mentari menarik tangan Langit hingga membuat tubuhnya kembali berbalik.

Tapi langit tak perduli. Ia masih enggan membuka mata. Ia tak percaya rayuan adiknya. Dia pernah melakukan itu sebelumnya. Membangunkannya di hari libur hanya karena teman-teman perempuannya ingin berkenalan dengannya. Dasar ABG ganjen, keluh Langit.

"Malia!"

Langit mencerna sesaat nama itu. Perasaan pernah dengar. Dimana, ya? Dicobanya mengingat-ingat. Hah! Perempuan itu lagi?!

"Malia?!" Kini Langit langsung terbangun dan terduduk di atas kasurnya. Mentari mengangguk dengan senyum puas.

"Di sini? Di rumah ini?!" Langit seolah tak percaya. Mentari kembali mengangguk senang.

Langit mengusap wajahnya. Ya, Tuhan! Mengapa kau datangkan makhluk pengganggu itu di hidupku? Jeritnya di hati.

Setelah menyadarkan dirinya dengan basuhan air dingin di wajah, akhirnya Langit berjalan menemui orang yang memaksanya harus bangun pagi di hari termalasnya itu.

"Hai!" Sapa Malia dengan senyuman manis. Dia terlihat sangat segar dengan pakaian olah raga, wajah yang merona merah dan butiran keringat di keningnya.

Sesaat Langit tertegun melihatnya. Kenapa sekarang dia jadi manis? Kagumnya. Namun, ia buru-buru tersadar. Dengan enggan ia duduk di hadapannya, lalu menunggunya kembali berbicara.

"Aku habis lari pagi tadi, terus langsung mampir ke sini. Sekalian bawain sarapan!" Sahut Malia seolah tahu yang dipikirkan Langit.

Tapi Langit hanya menanggapinya dengan acuh hingga sebuah injakan di kakinya membuatnya tersadar. Mentari menatapnya sambil melotot.

"Makasih ya, Kak! Udah repot-repot," Jawab mentari sambil melirik ke arah Langit yang meringis kesakitan sambil mengusap-usap kakinya.

Di atas meja nampak empat gelas karton kopi panas dan satu dus kue-kue pastri dari merk terkenal.

"Aku gak tahu di sini ada berapa orang, jadi mudah-mudahan kopinya cukup?" Ucap Malia.

"Oh! Malah kelebihan kok, Kak. Kita cuma berdua aja di sini," sahut Mentari seraya mengambil segelas kopi lalu menyodorkannya di depan wajah Sang Kakak. "Nih! Biar bangun!" Ucapnya.

"Kamu ke sini cuma mau kasih ini?" Akhirnya Langit mengeluarkan suaranya.

Malia mengangguk.

"Repot amat, kan bisa ojol?" Sambungnya lagi. Namun kemudian ia kembali meringis ketika kaki Mentari kembali menghujam jempol kakinya dengan keras.

"Ok... Thanks... Buat ini semua," ucap Langit sambil memandang kesal adiknya yang tersenyum puas melihatnya kesakitan.

"Aku juga mau... Undang kamu...?" Suara Malia terdengar ragu. "Hmm... Mama sama Papa aku mau ketemu sama kamu..."

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang