Bab 8 : Semua Butuh Uang

69 6 0
                                    

"Mas Langit nama Instagram-nya, apa?" Seorang gadis manis dengan ponsel ditangannya memandang Langit sambil tersenyum malu-malu. Dia adalah pelanggan Cafe Dewa yang juga berkantor di gedung itu.

"Saya gak punya, Kak. Gak sempat main sosmed," sahut Langit sambil mengulurkan es kopi susu pesanannya.

"Masa, sih?" Gadis itu menatapnya tak percaya.

Langit mengangguk. "IG-nya Cafe Dewa aja. Sama aja, ada foto-foto saya juga kan, disitu," senyum Langit.

"Huuh! Itu sih udah tahu," Sungut gadis itu lagi, lalu berbalik pergi.

Bima menyenggol Langit, "Makanya bikin! fans lu kan, banyak di sini!"

Langit tersenyum. "Lu kan, tahu alesannya, Mas. Gak mungkin gue bikin."

"Ya, lu kan, bisa pakai nama Dewa Langit?" Seloroh Bima, membuat Langit tergelak.

"Malas Mas. Mas Bima juga gak punya, kan?" Sindir Langit.

Bima tersenyum. "Ya, kalau gue kan, udah tua..." sahutnya.

Langit ikut tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia tahu alasannya sebenarnya. Ia mengenal Bima sejak sebelum mendirikan Cafe Dewa. Karena Almarhum Ibu adalah pelanggan toko rotinya dulu. Bima memang tidak pernah mempunyai akun sosial media. Hidupnya sangat tertutup. Dia lebih suka membuat roti daripada bersosialisasi. Sulit baginya untuk terbuka dengan orang lain. Sampai saat ini ia bahkan tidak tahu alasan yang membuat Bima berpisah dengan istrinya. Dan sejak bercerai, tak pernah Langit melihatnya dekat dengan wanita mana pun, meski banyak wanita yang mencoba mendekatinya. Entah apa yang membuatnya begitu trauma.

"Lang, gue serius. Kalau lu gak mau bikin sosmed buat cewek-cewek itu. Lu aktif dong, di IG Dewa kayak dulu. Lu balesin tuh DM-an mereka. Kebanyakan nanyain lu. Masak gue terus yang bales?"

Langit memandang Bima dengan bingung. Tumben banget Mas Bima ngurusin DM-an IG segala? Karena biasanya pelanggan yang sering berkirim pesan itu kebanyakan wanita yang hanya ingin sekedar bertegur sapa saja. Dan biasanya Mas Bima tak pernah punya waktu untuk membalasnya. "Gak dibalesin juga mereka pada ke sini juga kan, Mas?" Sahutnya.

Bima menghela nafas panjang. "Tapi kita butuh omzet lebih, Lang. Tiga bulan lagi mesti bayar sewa cafe. Duitnya masih kurang. Kita perlu tambahan omzet. Kemaren-kemaren kan, kita banyak liburnya," ujarnya dengan wajah serius.

Langit terdiam sejenak. Ia mengerti. Cafe mereka memang sering tutup karena banyaknya tanggal merah yang membuat kantor-kantor pun ikut libur. Belum lagi seringnya terjadi banjir beberapa bulan belakangan, yang memaksa gedung juga harus tutup karena jalanan di depan gedung ikut kebanjiran.

"Lu coba rayu pelanggan-pelangan kita yang udah jarang datang lagi. Kalau mereka enggak ke sini lagi berarti kan, mereka pergi ke cafe lain? Persaingan semakin ketat, Lang. Dan kita gak punya dana banyak buat bikin promosi kayak mereka."

Kini Langit mengangguk. "Iya, Mas. Gue usahain nanti aktif lagi," sahutnya sambil memandangi Bima yang kini tengah melayani seorang pelanggan cerewet dengan sabarnya.

Selama tiga tahun baru kali inilah Mas Bima mengeluhkan kondisi keuangan cafe. Bagaimana nasibnya kalau sampai Mas Bima tidak bisa membayar sewa? Bagimana nasib Mentari? Hidupnya sangat bergantung pada cafe ini.

"Semalam gimana ng-date lu?" Tanya Bima tiba-tiba.

Langit tersipu. "Apaan sih, Mas. Gue makan malam sama orang tuanya. Itu aja."

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang