Langit mengetuk pintu kamar Mentari. Dan saat terdengar sahutan dari dalam, dibukanya pintu kamar yang tak terkunci itu. "De, udah hampir dua minggu kok, Devina gak pernah ke sini lagi, ya?" Tanyanya seraya duduk di samping Sang Adik yang tengah tenggelam dalam novel yang dibacanya.
"Katanya sibuk mau skripsi," sahut Mentari tanpa menoleh. "Kangeeeen, yaa?" Ledeknya.
Langit mengacak rambut Sang Adik dengan gemas. "Mas cuma penasaran aja. Kok, tumben banget udah lama gak ke sini?"
Kini Mentari menutup novel yang dibacanya lalu memandang Langit dengan wajah serius. "Dia juga udah gak mau sepeda-an lagi sama aku, Mas. Enggak tahu kenapa," tukasnya.
"O ya?"
Mentari mengangguk. "Mas, siiih Kak Vina dicuekin teruuus. Aku kan, udah bilang, sekali-kali ajak jalan!" Sungutnya.
Langit tersenyum, lalu kembali mengacak-acak rambut Mentari. "Sok, tahu!" Sahutnya. Namun kemudian hatinya bertanya-tanya. Apakah karena ia tak jadi melukisnya waktu itu? Langit kembali memandang Mentari. "De, tanyaian, gih. Dia mau gak dilukis sekarang?"
Mentari kembali mengangkat wajah lalu memandang Langit sambil melotot. "Mas, jangan cari gara-gara lagi, deh. Nanti kalau Kak Malia tahu?"
"Dia udah gak marah, kok. Mumpung Mas ada waktu, nih! Kamu tanyain sekarang, ya?" Ujar Langit lagi seraya berjalan keluar kamar dan masuk ke dalam studio lukisnya.
Sesaat kemudian terdengar suara Mentari berbicara dengan Devina di telepon. Dan tak menunggu waktu lama gadis itu pun datang dengan wajah berseri.
"Hai, Vina! Udah siap untuk dilukis?" Sapa Langit.
Devina mengangguk dengan senyum malu-malu.
Dan Langit lalu memintanya untuk duduk di atas kursi dan mengatur posisinya. "Rileks aja, ya," ucapnya mencoba menenangkan Devina yang mulai gugup.
Dan saat Langit mulai melukisnya, Devina berusaha keras untuk tidak menundukkan wajah. Berulang kali ia menarik nafas untuk menghilangkan kegugupannya. Sesekali bola matanya berputar ke kanan dan ke kiri untuk menghindari tatapan Langit. Ia tampak tak tenang.
"Sebentar lagi, ya?" ujar Langit seraya tersenyum. Ia sudah menduganya Devina tak akan sanggup berlama-lama duduk di hadapannya. Tapi ia tak akan lama menahannya di sana. Ia hanya perlu sedikit saja menggambar sketsa wajahnya, lalu ia akan menyelesaikan tanpanya.
Bentuk wajah Devina sangat berbeda dengan Malia. Wajahnya bulat seperti purnama. Sorot matanya sangat polos. Siapa pun yang melihatnya tak akan tega menyakitinya. Dan kulitnya yang pucat membuat pipinya kemerahan saat ia tersipu.
Beberapa saat kemudian akhirnya Devina bisa bernafas lega saat Langit sudah menyelesaikan sketsa wajahnya.
"Nanti kalau sudah selesai, Mas kabarin, ya?" Ucap Langit seraya kembali menggoreskan kuas di atas kanvas.
Senyum Devina merekah lebar saat ia menatap lukisan wajahnya yang belum selesai itu. "Apa aku boleh menunggu disini, Mas?" Tanyanya.
Langit menjawab dengan sebuah anggukan.
Devina lalu duduk di samping Langit sambil memandangi wajahnya. Mulutnya bergerak ragu. "Mmm... waktu itu aku pernah melihat Mas Langit melukis perempuan... apa itu lukisan Malia?" Tanyanya memberanikan diri.
Langit terkejut mendengar pertanyaan itu. Tangannya berhenti bergerak. Jadi itu yang membuatnya berhenti datang ke rumahnya? Gumamnya. Kini ia mengerti. Ia tak menyangka Devina akan cemburu. Langit pun lalu tersenyum. "Iya. Dia minta dibuatkan untuk ulang tahunnya," sahutnya setengah berdusta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...