Bab 49 : Hidupku Jadi Aneh Tanpa Kamu

46 8 0
                                    

"Hai!"

Langit menoleh. Dilihatnya Malia yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. Wajahnya tampak lelah.

"Hai!" Balas Langit terkejut. Buru-buru ia beranjak bangun. Ditariknya kursi di depannya, memaksa Malia untuk duduk. Ia takut Malia hanya sekedar menyapanya lalu pergi. "Sudah makan?" Tanyanya.

Malia menggeleng.

"Mau aku pesenin?"

"Nanti saja."

"Kamu sekarang sering makan di kantin?" Tanya Malia. Dilihatnya makanan di piring Langit yang hampir habis."

Langit menelan makanannya. Diteguknya minuman dinginnya. Kedatangan Malia yang tiba-tiba di kantin membuatnya gugup dan hampir tersedak. "Ya," sahutnya. "Bosan makan di atas."

Malia tersenyum. "Aku mau mengucapkan selamat ulang tahun. Maaf terlambat."

"Terima kasih! Aku tahu kamu lupa," ujar Langit tersenyum.

"Aku gak lupa. Cuma... takut ganggu kamu."

"Ganggu?" langit tersenyum. "Aku makan malam sama Mentari di rumah. Dia masakin aku makanan kesukaanku."

"Dia bisa bikin pecel lele?"

Langit tergelak, lalu menggeleng. "Kamu beneran mau pindah? Gak kerja lagi di kantor ini?"

Malia menggeleng. "Aku mungkin sementara ini kerja dari di rumah dulu."

Langit mengangguk. Keduanya lalu terdiam.

"Hmm.. kamu ... putus dengan Sandra, bukan karena aku, kan?" Tanya Malia tiba-tiba. Ia seperti merasa bersalah.

Langit menggeleng. Ditatapnya wajah Malia. "Kamu kelihatan capek sekali," tanyanya. Mengalihkan pertanyaan selanjutnya tentang Sandra. Sungguh ia tidak ingin mendengar lagi nama itu.

"Ya. Aku habis pindahin barang-barang kantor buat di rumah. Aku mau bikin kantor kecil di sana."

Langit mengangguk tanda mengerti. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi ia tidak ingin Malia menganggapnya cerewet. "Kamu makan dulu, ya?" Dari tubuhnya yang semakin kurus, Langit tahu Malia pasti semakin sulit untuk makan.

Malia menggeleng.

"Tapi kamu pasti dari pagi belum makan. Aku pesenin, ya? Mau makan apa?"

Sesaat Malia berpikir.
"Apa aja," sahutnya akhirnya.

"Sate, ya? Kamu kan, suka?"

Malia mengangguk. Langit pun beranjak pergi memesan makanannya. Dari kejauhan Malia memandang punggung Langit. Matanya menghangat. Sekarang Langit sudah tahu makanan kesukaannya. Ia sangat merindukan Langit. Ia merindukan perhatiannya, pelukannya, omelannya. Tapi, apakah perasaan Langit masih sama setelah mengetahui semua masa lalunya? Apakah perhatiannya saat ini hanya karena rasa iba? Ia tidak ingin dikasihani. Sudah cukup orang memandangnya dengan belas kasihan selama bertahun-tahun. Ia tahu sikap Langit tidak berubah padanya. Tapi bukankah itu aneh? Setelah mengetahui semua masa lalunya yang kelam. Dan mengetahui ia penyebab kematian Ayahnya, mengapa sikapnya tidak berubah? Ia lebih bisa menerima saat Langit membencinya. Menghina dengan matanya. Menyumpahi dengan mulutnya, dan membuatnya merasa tidak berharga di hadapannya. Tapi kini, sikap Langit kembali seperti semula. Ia seperti sudah melupakan kebenciannya. Dendamnya. Kalau ia berubah secepat itu karena rasa ibanya, ia benar-benar merasa dirinya semakin tak pantas.

Langit datang membawa sepiring sate ayam dan nasi. "Sekarang kamu makan dulu." Diletakannya piring itu di hadapan Malia. Ditunggunya hingga Malia benar-benar menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya

Malia mencoba memasukan makanannya ke dalam mulut. Rasanya sangat mual. Ia sama sekali tak ingin makan. Tapi ia juga tak ingin mengecewakan Langit.

Kini Langit memandang Malia dengan ragu. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikannya. Tapi ia takut Malia akan kembali terluka. Ia merasa kini Malia menjaga jarak darinya.
"Kamu gak akan ke sini lagi?" Tanyanya hati-hati.

Malia mengangguk.

"Tapi aku masih boleh ke rumah kamu, kan?"

Malia tersenyum dan kembali mengangguk. Ia tak berani berharap Langit ke rumahnya dengan rasa yang sama seperti dulu. Mungkin Langit hanya akan menghiburnya saja, karena rasa iba. Jiwa jagoan dalam dirinya selalu ingin membuatnya menolong orang lain.

...

Langit memandang Mentari dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Ganti bajunya!" Perintahnya dengan galak.

Mentari membulatkan matanya. "Maksudnya?" Tanyanya bingung. Diamatinya baju terusan selutut yang dipakainya baik - baik saja. Tidak transparan dan tidak ada celah terbuka yang memperlihatkan kulit tubuhnya kecuali betis dan lengannya.

"Mas, bilang ganti! Pakai celana panjang!" perintah Langit lagi sambil terus menatap Mentari yang kebingungan.

"Mas, aku kan, mau ke pesta ulang tahun!" Protes Mentari.

"Kamu ganti sama celana panjang, atau Mas gak ijinin kamu pergi?"

Mentari menatap Langit dengan kebingungan yang bertambah. Ia ingin kembali memprotesnya, tapi dari raut wajah Langit ia menyadari, dirinya sedang tidak berada dalam situasi yang bisa menang. Akhirnya Mentari masuk kembali ke dalam kamarnya dan mengganti pakaiannya.

"Mas, yang antar!"

Mentari tambah dibuat terkejut dan bingung. Kini Langit sudah menyalakan motornya dan mengenakan helm, siap mengantarnya. Tapi sekali lagi Mentari tidak berani memprotesnya. Diambilnya helm yang disodorkan Langit lalu melompat ke atas Vespa-nya.

Sepanjang perjalanan Mentari bertanya-tanya tentang sikap Langit. Mengapa sekarang ia jadi sangat protektif? Bukankah selama ini ia tahu tidak ada seorang pun yang berani menganggunya karena satu sekolahnya pun sudah tahu siapa dirinya. Adik satu -satunya Nagara Langit.

Ternyata tak sampai di situ. Kini Mentari harus menahan malu, karena Langit tak hanya mengantarnya hingga di depan rumah temannya yang berulang tahun. Tapi ia juga mengantar Mentari hingga masuk ke dalam. Menemui teman-temannya. Dan menatap satu persatu setiap teman laki-lakinya, seolah ingin menyampaikan pesan pada mereka agar jangan sampai berani mengganggu adiknya.

"Kabarin Mas, kalau sudah selesai. Nanti Mas jemput!" Ujar Langit sebelum akhirnya kembali pulang diiringi riuhnya suara teman-teman Mentari.

Mentari menarik nafasnya. Kini ia percaya, ia tidak akan bisa memiliki kekasih hingga lulus kuliah nanti.

Langit memandangi motornya yang baru saja dibersihkan. Diusap-usapnya jok motornya. Belum lama ia membawa Malia berkeliling naik motor ini sampai dia jatuh sakit. Tapi Malia tidak mengeluh, dan tidak menyalahkannya. Ia sangat senang dibawa berjalan-jalan sampai kepanasan.

Kini Langit masuk ke dalam rumahnya. Dihempaskan tubuhnya di atas sofa tuanya. Diingatnya kembali saat Malia sering datang menemuinya di sini. Dia sangat betah di rumahnya yang sempit, sampai tak mau pulang. Ia selalu ingin bersamanya. Dimana pun tempatnya, Malia tidak pernah perduli. Baginya, bisa menghabiskan waktu bersamanya saja sudah cukup membuatnya bahagia.

Langit menghembuskan nafasnya. Kini ia merasa kesepian. Hari-harinya sudah tak sama lagi. Tidak ada lagi sosok yang tiba-tiba datang ke rumah membawakannya sarapan atau hanya sekedar ingin mengganggu liburnya. Tidak ada lagi pesan singkat tiba-tiba yang memintanya untuk menjemputnya lari pagi. Dan tidak ada lagi rencana-rencana dadakan yang menguji kesabarannya. Kini hidupnya kembali datar dan menjemukan. Roller coaster hidupnya sudah berhenti berputar.

Langit mengusap kedua kelopak matanya yang tiba-tiba menghangat. Mengapa kini ia sangat merindukannya? Dan mengapa sekarang Malia menjauh darinya? Ia sudah tidak bisa dihubungi lagi. Ia bahkan selalu saja menghindar dengan berbagai alasan ketika ia akan menemuinya di rumah. Apakah ia sudah tidak mencintainya lagi?



Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang