Bab 38 : Naga Yang Kembali Berapi

45 6 0
                                    

Dari kaca spion motornya, Langit memandangi wajah Malia yang bersandar di bahunya. Kedua tangannya memeluk pinggangnya dengan erat. Sudah tengah hari. Matahari sudah berada di puncaknya. Ia lalu menghentikan motor tepat di depan sebuah kedai minuman. "Kita berteduh dulu ya, sambil minum," ucapnya. Dan saat gadis itu mengangguk gembira ia pun terseyum. Ia tahu sedari tadi Malia kepanasan setelah mereka berkeliling kota sejak pagi. Digandengnya tangan Malia masuk ke dalam kedai berpendingin udara itu, lalu dipesannya minuman dingin.

"Kamu kepanasan, ya?" Tanya Langit. Disekanya keringat di kening Malia dengan tisu.

"Sedikit," sahut Malia seraya mengikat rambut panjangnya.

"Mau aku antar pulang aja?"

Malia menggeleng.

"Aku takut kamu sakit. Kamu kan, enggak biasa panas-panasan?"

Malia tersenyum melihat kekhawatiran di wajah Langit. "Sebentar lagi juga hilang panasnya. Lagian, aku juga bosan di rumah," sahutnya.

"Jangan bilang bosan. Kamu masih punya orang tua. Nanti kalau mereka gak ada, kamu baru menyesal."

Malia kembali tersenyum. "Dari kecil aku gak dekat sama Papa. Dekatnya sejak Mario meninggal aja."

"Kamu kangen sama Mario?"

Malia mengangguk. "Aku suka iri sama kamu dan Mentari."

"Kamu boleh mengingatnya, tapi jangan disesali lagi kepergiannya. Kan, udah ada aku yang akan menjaga kamu."

Malia menatap Langit dengan mata berbinar. Sejak bertemu Langit ia memang sudah jarang memikirkan Mario.

"Kamu lebih beruntung dari aku dalam segala hal," imbuh Langit.

"Apa kamu masih menyesali kepergian mereka?" Malia menatap kedua mata kelam itu.

Langit menatap wajah Malia dengan ragu, lalu mengangguk pelan. "Aku menyesal karena aku belum sempat membuat mereka bangga sampai akhir hayatnya. Aku selalu menyusahkan mereka. Membuat mereka malu dan menangis. Kadang aku berpikir, mungkin ini cara Tuhan untuk membalaskan air mata kedua orang tuaku. Karena sekarang aku selalu menangisi mereka. Penyesalanku tak pernah berhenti." Langit menghembuskan nafas beratnya.

"Tapi sekarang Ayah dan Ibumu pasti bangga. Kamu sudah berubah menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Gak semua orang bisa sekuat kamu."

"Aku harus kuat, demi Mentari. Sekarang aku cuma punya dia. Terkadang aku cuma berpura-pura tegar, karena aku malu padanya. Dia lebih kuat dari aku. Padahal dialah yang paling dekat dengan Ibu dan Ayah semasa hidupnya. Dan waktu Ibu sakit Mentari lah yang paling sering merawatnya."

"Ibumu... meninggal dunia karena sakit?" Tanya Malia dengan hati-hati.

Langit kembali mengangguk. "Sejak Ayah meninggal, Ibu mulai sakit-sakitan. Dia seperti kehilangan pegangan hidup. Ibu jadi sering melamun, susah tidur dan jarang makan. Sampai kemudian saat tengah malam itu Ibu jatuh di kamar mandi dan gak bisa bangun lagi. Ibu terkena stroke. Sepanjang waktu Ibu hanya bisa duduk di kursi roda dan berbaring di tempat tidur. Dan itu membuatnya semakin terpuruk. Empat bulan kemudian Ibu meninggal dunia."

Langit menghapus air matanya yang menetes. "Sejak saat itu aku memutuskan untuk berhenti kuliah. Karena sudah tidak ada biaya lagi. Kami tidak punya banyak harta. Ibuku hanyalah seorang guru SD. Dan sejak Ayah meninggal dunia, sanggar lukisnya pun harus tutup. Kami tidak punya pendapatan lagi. Kami juga tidak bisa lagi membayar cicilan rumah. Dan akhirnya rumah itu dijual untuk membayar sisa cicilan, dan sisanya aku belikan rumah kecil yang kami tempati sekarang."

Langit memandang Malia yang tengah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Hidup kami berubah dalam sekejap. Sulit sekali rasanya menerima kenyataan hidup kita dihancurkan oleh seorang pengecut."

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang