Langit melambaikan tangan ke arah kamera pengawas di atasnya. Dan beberapa detik kemudian, pintu pagar besi itu pun terbuka. Tampak seorang pria berseragam keamanan mendorong pagar itu dan mempersilakannya masuk.
Hari ini ia mulai mengikuti saran Mas Bima untuk memperbaiki hubungannya dengan Malia. Untuk mencoba menerimanya dengan hati terbuka, dan menjalankannya dengan ikhlas, bukan semata karena imbalan. Mudah-mudahan saja sikap Malia juga bisa berubah, karena ia sudah lelah bertengkar dengannya. Apalagi Pak Subagja juga sangat berharap ia bisa membuat Malia lebih dewasa dan Mandiri agar dapat secepatnya masuk ke dalam perusahaan untuk menjadi penerusnya kelak.
Langit memarkirkan motornya di samping garasi. Dan sesaat kemudian dilihatnya Malia memanggil dan melambaikan tangan dari balkon kamarnya. Lalu berlari turun untuk membuka pintu.
Senyum Malia mengembang lebar sesaat pintu terbuka. Dan sebuah kecupan mendarat di pipi Langit sebelum ia sempat menyadarinya.
"Mal!?" Langit menatap Malia sambil melotot. Lalu menyapu pandangan ke seluruh ruangan.
Malia tertawa melihat kepanikan di wajah Langit. "Papa Mama lagi gak ada di rumah. Lagi pergi ke rumah kerabat," sahutnya.
Langit menghela nafasnya. Ia mencoba bersabar. Diulurkannya kantong plastik berisi bungkusan makanan yang dibawanya pada Malia. "Sesuai pesanan. Aku bawain makanan yang belum pernah kamu makan," ujarnya.
"Apa ini?" Malia mengintip isi di dalam bungkusan itu.
"Martabak ketan hitam. Kamu belum pernah coba, kan?"
Malia menggeleng ragu. "Ini pasti kesukaan kamu?" Tanyanya.
Langit mengangguk dengan senyuman. "Aku bawain makanan yang kamu gak akan bisa bikinnya. Jadi kalau mau makan itu kamu harus minta sama aku," ucapnya sambil mengerling usil.
Dan Malia pun tertawa lebar. "Makasih, ya!" Ucapnya, lalu menarik paksa tangan Langit untuk mengikutinya ke halaman belakang rumah.
Dengan kesal Langit menarik kembali tangannya. "Bisa gak kamu tuh, gak maksa..."
Langit tak jadi meneruskan omelannya saat mereka tiba di halaman belakang dan melihat pemandangan indah yang terbentang di hadapannya. Sebuah taman tropis bergaya Bali. Dengan bermacam tanaman hijau di atas rumput tebal yang menyelimuti seluruh halaman. Dan Pohon Palem yang berderet mengelilingi pagar tembok yang tinggi, serta Pepohonan Kamboja dengan bunganya yang tengah bermekaran indah dan wangi. Dari kejauhan terdengar gemericik air yang keluar dari celah-celah dinding bebatuan, mengalir ke sebuah kolam ikan dengan jembatan kecil di atasnya. Dan di sampingngnya terbentang kolam renang yang sangat besar, dikelilingi oleh patung-patung berwajah Dewa yang mengeluarkan air dari dalam mulutnya. Serta sebuah lapangan tenis yang menyatu dengan lapangan basket yang besarnya melebihi lapangan di komplek perumahannya.
Langit memandangi semua itu dengan takjub. Ia merasa seperti tengah berada di sebuah resort mewah di Bali. Ia lalu menarik nafasnya. Semakin jauh ia masuk ke dalam hidup Malia, semakin ia merasa tak berarti. Betapa kontrasnya kehidupan yang ia jalani, dan kehidupan yang Malia nikmati. Seperti langit dan bumi.
Kini pandangannya menoleh ke arah Malia yang tengah duduk di atas kursi kayu sambil sibuk membuka bungkusan martabak yang dibawanya. Ia pun kembali ragu. Dan kembali tak percaya diri.
"Enak?" Tanya Langit saat melihat Malia memasukan potongan martabak itu ke dalam mulutnya.
Dengan mulut yang penuh Malia pun mengangguk.
Tak lama kemudian seorang pelayan datang membawakan Es Teh Lemon yang menyegarkan dan sepiring kue-kue pastry.
"Aku senang akhirnya kamu mau datang ke rumahku. Biarpun sore banget." Malia menuangkan Teh Lemon ke dalam gelas dan mengulurkannya pada Langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
عاطفيةKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...