Bab 18 : Kamu Adalah Takdirku

44 6 0
                                    

Dengan setelan olahraga dan wajah yang sumringah Malia bersiap di depan pagar rumah. Dan saat Langit sampai dengan motornya ia pun melompat naik dengan gembira. Membuat Langit tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kamu udah bilang Papa Mama kalau aku jemput kamu pakai motor?" Tanyanya.

"Udah! Gak pa-pa, kok. Kamu kan, pernah antar aku pakai motor juga waktu itu," Sahut Malia sambil memeluk pinggang Langit.

"Tapi waktu itu, kan karena terpaksa," sahut Langit. Ia memang agak ragu ketika Malia memintanya untuk menjemput dengan motor. Aneh, banget! Semua orang ingin bepergian dengan kendaraan yang nyaman, tapi dia malah lebih suka berpetualang dengan motor tuanya.

Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di sebuah jalan raya yang ditutup khusus untuk orang-orang berolahraga. Banyak orang-orang yang bersepeda, tapi lebih banyak yang berlari dan berjalan kaki. Setelah memarkirkan motornya, Langit pun mengajak Malia untuk bergabung.

"Kamu sering ke sini, ya?" Tanya Malia sambil memandangi sekelilingnya dengan wajah yang gembira.

"Dulu sih, sering sama Mentari. Tapi sekarang udah jarang. Mentari lebih suka pergi bersama teman-temannya," sahut Langit seraya berlari-lari kecil. "Kamu gak pernah ke tempat kayak gini, ya? Tanyanya melihat Malia yang masih keheranan memandangi sekelilingnya.

Malia menggeleng sambil berlari menyusul Langit. Sesekali ia berhenti hanya untuk mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya. Terkadang ia menyapa orang-orang yang tersenyum padanya. Terkadang ia juga mengajak Langit untuk hanya berjalan saja, sambil menikmati udara yang segar tanpa polusi dan langit yang cerah di Minggu pagi itu.

Namun, setelah beberapa putaran berlari Malia sudah nampak kelelahan. Dan ia pun mengajak Langit untuk beristirahat sejenak, duduk di atas trotoar di samping penjual minuman dingin. Malia meluruskan kedua kakinya, dan mengatur nafasnya yang tersengal.

"Minum dulu!" Langit mengulurkan sebotol air mineral dingin pada Malia. Dipandanginya wajah Malia sambil tersenyum. Bulir-bulir keringat tampak membasahi seluruh wajahnya yang memerah. Ia tahu Malia tidak terbiasa berolahraga di tempat panas dan penuh orang.

"Thanks!" Malia meneguk minumannya hingga tersisa setengah.

"Capek?" Tanya Langit. Disekanya keringat Malia dengan handuk kecil yang dibawanya.

Malia mengangguk, lalu tertegun menatap Langit. Dibiarkannya tangan Langit menyentuh wajah dengan handuknya. "Makasih, ya?" Ucapnya dengan senyum yang tulus.

"Untuk?" Tanya Langit.

"Udah mengajak aku ke sini," jawab Malia. Diambilnya handuk itu dari tangan Langit. "Dan untuk perhatian kamu," imbuhnya lagi membuat Langit mendadak salah tingkah.

"Kalau kamu sampai pingsan kepanasan kan, aku juga yang repot?" Sahut Langit menutupi kecanggungnya.

Malia tertawa. Dipandanginya kembali wajah Langit dari samping. Ia tahu meskipun sikapnya terlihat keras, tapi hati Langit sangat lembut. Dia selalu ingin menolong orang lain. Membuat ia semakin mengaguminya dan semakin jatuh cinta padanya. Meski ia juga tahu Langit melakukan semua itu karena permintaan Ayahnya, tapi ia yakin suatu saat Langit akan mencintainya. Karena ia percaya Langit tak hanya dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkannya tapi juga ditakdirkan untuk menjadi jodohnya. Ia percaya setelah semua penderitaan yang ia lalui, akhirnya ia akan sampai pada kebahagiaannya. Ia tak pernah merasa begitu hidup sebelum bertemu dengannya.

"Kenapa?" Langit menoleh.

Seketika Malia pun terkejut. Ternyata Langit tahu ia memandanginya sejak tadi. Ia lalu tersenyum. "Kalau lagi baik kayak gini kamu tambah ganteng," selorohnya, membuat Langit tertawa.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang