Langit membuka pesan yang masuk ke ponselnya dengan kening berkerut. Sebuah foto selfie Malia tengah memegang sekotak makanan dengan sebuah kalimat, "Kita sarapan bareng ya, sebelum cafe buka. Otw..."
Langit merasakan kepalanya mendadak pusing. Bagaimana bisa sepagi ini dia sudah mengganggunya? Keluhnya. Diliriknya jam di tangannya. Lalu dipandanginya semangkuk bubur ayam yang sudah disiapkan Mentari di atas meja makan. Langit menghela nafas panjang. Ditutupnya kembali bubur itu dengan penutup makanan lalu keluar meninggalkan rumah. Melajukan motornya ke jalan raya di pagi yang masih dingin itu.
"Hai...!"
Malia tiba-tiba muncul dari dalam mobilnya yang terparkir ketika Langit baru saja keluar dari halaman parkir.
"Kamu dari tadi di sini?" Tanya Langit yang dijawab Malia dengan anggukan. Langit menggelengkan kepala. Ia sudah menduga Malia pasti sudah menunggunya sejak ia masih berada di rumah. "Yuk, kita langsung ke cafe!" Ia pun buru-buru menarik tangan Malia masuk ke dalam elevator. Ia tak ingin orang-orang melihat mereka berduan lalu dijadikan bulan-bulanan gosip warga gedung itu. Apalagi ia sudah melihat beberapa orang yang mulai kusuk-kasuk saat mereka berpapasan dengannya.
"Kamu pagi-pagi ke sini cuma mau sarapan bareng aku?" Tanya Langit sesampainya di cafe.
Malia kembali mengangguk. Dikeluarkannya sebuah kotak makanan dari dalam kantong yang dibawanya. "Aku bikinin kamu banana chocolate pancake," ucapnya dengan bangga.
Langit akhirnya tersenyum. "Thank you! Kamu repot banget bikinin ini buat aku?" ucapnya sambil duduk di hadapan Malia.
Malia menggeleng. "Gak repot. Aku memang senang bikin kue."
Langit memasukan kue itu ke dalam mulutnya. "Hm! Kok, enak?" Pujinya.
"Kamu suka?" Malia tak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya.
Langit mengangguk. Ia tidak berbohong. Kue itu memang benar-benar enak. Apalagi Malia sengaja membuatkan untuknya. Ia merasa tersanjung. Rasa kesalnya bahkan langsung meleleh seperti cokelat lumer dalam kue yang di makannya.
"Nanti aku bikinin lagi buat kamu," sahut Malia kegirangan.
Sejenak Langit berhenti mengunyah. Duh, kenapa jadi salah bicara? Bisa-bisa Malia datang setiap pagi untuk sarapan bersamanya.
"Kenapa?" Malia menatap Langit dengan curiga.
Seketika Langit pun tersadar. "Oh! Enggak apa-apa. Aku cuma ngerasa enggak enak bikin kamu repot," dustanya.
"Aku kan, udah bilang enggak merepotkan sama sekali. Aku memang suka bikin kue."
Sebuah pesan masuk terdengar dari ponsel cafe. Bergegas Langit berlari ke konter untuk membukanya. Berharap pesanan kopi yang datang. Dan benar saja. Pesanan dua belas kopi dan roti untuk meeting pukul sembilan. Langit melirik jam tangannya. Setengah jam lagi ia harus membuka cafe. Ia pun mulai menyalakan mesin kopi dan menyiapkan meja konter.
"Sorry, Mal. Aku enggak bisa temani kamu lama-lama. Sebentar lagi cafe buka, dan aku juga harus siapin pesanan delivery kopi orang-orang kantor. Jadi, kamu sarapan sendiri dulu, ya?"
"Kamu sendiri yang mengantar kopi-kopi itu?" Malia memandang Langit dengan wajah tak suka.
Langit mengangguk.
"Kenapa mesti dianterin? Kan, biasanya juga pada beli langsung di sini?" Sungut Malia lagi.
"Ini servis tambahan. Karena aku mesti bantuin Mas Bima ngejar omzet. Tiga bulan lagi kan, harus bayar sewa cafe. Dan uangnya masih kurang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...