"Lang!"
Langit menoleh. Dari ruangan kecilnya yang terbuka Bima melambaikan tangan. Meminta Langit menemuinya. Wajahnya terlihat sangat serius.
"Pak Bagja, tadi telepon gue. Katanya lu gak pernah angkat telepon dia?" Ucap Bima sesaat Langit duduk di hadapannya.
Langit menghela nafas. Di dorongnya tubuhnya ke belakang. "Gue belum siap, Mas," sahutnya.
"Mau kapan siapnya? Lu terus aja menghindar. Dia gak salah, Lang. Kasihan. Kasih kesempatan dia bicara."
"Gue gak perlu penjelasan dari dia."
"Lang!" Kini suara Bima meninggi. "Dia orang tua! Seumuran Ayah lu. Hargain dia!"
Langit terdiam.
"Kalau lu gak mau bicara sama dia. Ya, lu bicara sama Malia."
"Apalagi yang perlu mereka jelasin ke gue, Mas?"
"Lu mesti dengerin mereka! Gue gak mau tahu. Gue gak mau denger lagi Pak Bagja nelepon gue minta tolong supaya lu mau ketemu dia atau Malia. Kalau mereka minta ketemu, temuin mereka. Jangan lu menghindar lagi."
Langit kembali terdiam. Lalu keluar dari ruangan kecil itu setelah dilihatnya Bima tak lagi bicara.
Dan kini ia termenung di dalam konter. Ia benci sekali kalau Mas Bima mulai memaksanya seperti itu. Ia belum siap menemui mereka. Jangan - jangan Mas Bima masih jadi sekutunya Malia, batinnya kesal.
Sebuah pesan singkat terdengar dari ponselnya. Dari Reina? Langit mengerutkan keningnya. Dari mana ia tahu nomornya? Mereka meminta Langit menunggunya pukul enam sore nanti di teras cafe. Ada hal penting yang ingin mereka sampaikan. Ada apa ini? Tiba - tiba hati Langit tak tenang. Ia takut kejadian yang menimpa Eva akan menimpa mereka juga. Tapi apakah Malia masih senekat itu? Kenapa mereka harus menunggu hingga cafe tutup? Apakah agar tidak diketahui Malia? Kini hatinya bertambah gusar.
...
Sudah hampir pukul enam. Dengan gelisah Langit melirik ke pintu. Sedari tadi ia tak bisa tenang. Ia takut sekali terjadi sesuatu pada ketiga perempuan itu.
Tiba - tiba pintu teras terbuka. Langit terpaku di tempatnya. Malia berdiri di sana. Memandanginya.
"Maaf, aku terpaksa meminta Reina membantuku," ucapnya pelan, lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Langit. Ditatapnya Langit dengan wajah penuh rasa bersalah.
Langit masih mematung di tempatnya. Ia ingin sekali pergi. Tapi ancaman Mas Bima memaksanya untuk tetap tinggal. Wajahnya tertunduk. Ia tak ingin menatap Malia. Ia sangat membencinya.
Didengarnya Malia menghela nafas beratnya. "Aku tahu, dari semua orang di dunia ini, mungkin hanya aku orang yang tidak ingin kamu temui. Tapi aku berjanji, ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku akan pergi. Aku akan menghilang selamanya."
Langit tak perduli. Ia tetap terdiam. Didengarnya tarikan nafas Malia perlahan, sebelum kemudian ia memulai ceritanya.
"Tiga tahun lalu aku pernah punya kekasih, namanya Demian. Kami sudah saling kenal sejak SMA. Lalu hubungan kami berlanjut hingga kami kuliah di kampus yang sama. Tadinya dia laki-laki yang baik. Sopan dan lembut. Tapi sejak kedua orang tuanya bercerai, ia berubah menjadi sangat posesif, kasar dan suka marah-marah. Tapi aku masih mencintainya. Aku berpikir, aku bisa merubahnya kembali. Tapi lama - lama ia semakin tak terkendali. Ia mulai sering minum - minum sampai mabuk. Dia mulai bergaul dengan orang-orang yang salah. Dan dia selalu memintaku menemaninya ke mana pun dia pergi. Sampai suatu ketika, saat ia sangat mabuk ia memintaku melayaninya. Tapi aku menolaknya. Aku berlari keluar dari kamarnya, tapi dia menarikku, lalu memaksaku. Dia... memperkosaku, untuk pertama kalinya." Mata Malia mulai berkaca - kaca. Disekanya air mata yang kemudian mulai jatuh satu per satu di pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...