Mentari mengintip Langit dari pintu yang sedikit terbuka. Ia masih di sana. Di studio kecilnya. Mengguratkan kuas lukis di kanvasnya. Entah apa yang tengah dilukisnya. Mentari tak berani bertanya. Ia hanya tahu, Langit sudah berada di sana sejak subuh tadi, setelah semalaman ia tak melihatnya tidur. Ia bahkan tak menyentuh makan malamnya. Entah sudah berapa kali Mentari menawarinya makanan, tapi ia tak pernah menggubrisnya. Mentari takut tubuh Langit akan semakin lemah. Dan sakitnya akan semakin parah.
Kini diberanikanya untuk membuka pintu itu. Ia membuatkannya kopi hitam dan omelet kesukaannya. Ia berharap Langit akan menyentuhnya kali ini. Dengan perlahan diletakannya nampan yang dibawanya di atas meja. Tapi Langit masih tak menoleh. Ia masih sibuk dengan kuas lukisnya. Entah siapa yang terlukis di atas kanvasnya. Mentari hanya dapat melihat sekilas guratan rambut seorang wanita. Perlahan Mentari keluar tanpa suara, dan menutup pintu seperti semula. Tak ada kata yang bisa diucapkannya lagi. Mentari sudah meminta maaf semalaman. Ia juga sudah meminta maaf pada Malia. Tapi tak ada jawaban apa pun dari keduanya. Membuat ia semakin merasa bersalah.
Kini Mentari masuk ke dalam kamarnya kembali. Dibukanya lagi layar ponsel. Berharap ada balasan pesan dari Malia. Mentari bahkan sudah mencoba berulang kali meneleponnya. Tapi ia tetap tak mendapatkan jawaban. Diliriknya jam di ponsel. Sudah hampir pukul sepuluh pagi. Ia sudah membatalkan janji lukis Devina dan teman-temannya. Hatinya menjadi semakin cemas. Ia tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Mentari terisak. Pikirannya dipenuhi hal-hal yang menakutkannya. Ia takut, jika Mas Langitnya sampai meninggalkannya ia tak akan sanggup hidup sendiri di dunia ini.
Kini Mentari mendengar suara pintu yang terbuka, dan sebuah langkah pelan membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Langit dengan wajah pucat berjalan lemah menghampirinya dan tiba-tiba terjatuh di hadapannya, tak sadarkan diri. Mentari berteriak histeris.
...
Langit membuka kedua matanya. Dipandanginya ruangan sekelilingnya. Ruangan serba putih yang asing. Dengan bau obat-obatan yang menyengat hidungnya. Dilihatnya tangan kirinya yang terasa sakit. Ada jarum infus dan selang kecil yang menancap di sana. Samar-samar dilihatnya wajah berkaca mata yang dikenalnya.
"Hei!" Bima memandangnya. Suaranya terdengar cemas.
Dan sebuah suara yang paling dikenalnya di dunia ini, memeluknya sambil terisak. "Mas, jangan sakit, Mas... Jangan mati!"
Isakan Mentari membuatnya meneteskan air mata. Langit mencoba mengusap rambut Sang Adik dengan tangan kanannya. "Makanya jangan bikin ulah," bisiknya di telinganya. Dicobanya untuk tertawa.
Seorang dokter tiba-tiba saja datang dan memeriksanya. Langit pun memohon untuk diijinkan pulang. Tapi dokter itu memintanya bertahan satu hari lagi.
"Lu di sini dulu sampai benar - benar sembuh. Gak usah mikirin cafe dulu. Kan, udah ada Danar," pinta Bima. Kini wajahnya terlihat lega saat dokter mengatakan kondisi Langit sudah baik-baik saja.
"Makasih, ya, Mas!" Ucap Langit sungguh-sungguh. Ia berhutang banyak padanya. Bima adalah kontak darurat ia dan Mentari. Mereka sudah sering merepotkannya. Dan Bima selalu menjadi penyelamat mereka.
Bima hanya tersenyum mendengarnya.
"Gue gak tau lu ternyata sakit dari kemarin?" Tanyanya sambil duduk di samping Langit."Biasa, Mas. Kecapeakan," sahut Langit sambil menekan tombol tempat tidurnya agar bisa bersandar.
"Tolong jangan bilang Malia, ya, Mas?" Pinta langit. Dan Bima menjawab dengan sebuah anggukan. Langit tahu, ada banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan Bima yang tak berani diungkapkannya. Langit menghela nafas. "Sorry ya, Mas, ngerepotin lagi," ucapnya.
"Apaan sih lu! Untung gue lagi di supermarket deket rumah lu. Jantungan gue ditelepon Mentari. Dia histeris banget!" Ujar Bima tertawa sambil memandang Mentari yang tersenyum malu sambil memeluk Langit.
Tapi Bima tak bisa menemani Langit terlalu lama. Ia pun kemudian pamit pulang. "Gue balik dulu ya. Nanti malam gue ke sini lagi jagain lu, gantian sama Mentari," ujarnya.
Langit menggeleng. "Gak usah, Mas. Gak usah dijagain. Gue udah sembuh. Bisa jalan juga."
"Udah, lu nurut aja. Jangan bandel. Sakit lu tuh gara-gara lu bandel gak mau makan," sahut Bima yang didukung Mentari dengan anggukan.
Langit akhirnya mengangguk. "Makasih, Mas!" Ucapnya.
Kini Langit memandang Mentari yang bersandar di bahunya. "Maafin, Mas, ya, De. Pasti kemarin kamu ketakutan?" Tanyanya.
Mentari mengangguk. "Mas, aku suapin makan, ya?" Ucapnya seraya mengambil nampan makanan dari atas meja di sampingnya.
Langit menggeleng. "Mas, makan sendiri aja," sahutnya. Diambilnya nampan itu dari tangan Mentari. "Kamu gak bilang Malia, kan?" Tanyanya kemudian.
Mentari menggeleng. "Cuma Kak Devina sama Ayah Ibunya yang ikut bantu angkat Mas ke tempat tidur."
"O ya?"
Mentari mengangguk. "Soalnya nungguin Mas Bima masih di jalan. Jadi aku telepon Kak Vina. Dan mereka juga ikut ngantar ke sini tadi. Gak pa-pa, kan?" Tanyanya dengan ragu. Ia takut kembali berbuat salah.
"Gak apa-apa," ucap Langit dengan senyuman.
"Mas... aku dari kemarin udah hubungi Kak Malia buat minta maaf. Aku juga udah jelasin semuanya. Tapi dia gak balas-balas," ucap Mentari dengan rasa bersalah.
Langit kembali tersenyum. "Gak usah dipikirin. Bukan salah kamu. Semua salah Mas."
"Tapi..."
"Heiii..." Langit menatap Mentari. "Mas bilang udah! Jangan dipikirin," ucapnya lagi. "Gak usah hubungi dia lagi. Ok?"
Mentari pun lalu mengangguk.
...
Bima membantu Langit turun dari dalam mobilnya. Dan dari dalam rumah Devina berlari keluar menyambutnya.
"Makasih ya, Mas!" Ucap Langit saat Bima kembali masuk ke dalam mobilnya.
Bima mengangguk. "Inget ya, Lang. Lu masuk kerja kalau udah bener-bener fit. Gue gak mau gotong-gotong lu di cafe. Berat!" Selorohnya yang disambut dengan tawa kecil Langit.
Langit menatap Devina yang memegangi tangannya untuk membantunya berjalan. "Makasih ya,Vin. Udah nolongin Mas. Udah nemenin Mentari juga," ucapnya dengan tulus. Ia merasa kembali berhutang budi.
Devina menggangguk seraya tersenyum. "Kita kan, tetangga dekat, Mas. Harus saling tolong-menolong," sahutnya seraya membantu Langit masuk ke dalam rumah dan mendudukkannya di atas sofa.
"Mau ke mana?" Dengan tangannya Langit menahan langkah Devina saat melihat gadis itu akan melangkah pergi.
"Aku mau ambilin minum buat Mas."
Langit menggeleng. "Enggak usah, nanti aja!" Sahutnya. "Tungguin Mas di sini sampai Mentari pulang sekolah, ya?" Pintanya.
Devina akhirnya mengangguk. Lalu kembali duduk di samping Langit. Tanpa kata ditemaninya Langit yang masih lemas itu bersandar di sofa dengan kedua mata terpejam. Dan saat akhirnya ia terlelap dibiarkannya kepala Langit jatuh di bahunya. Lalu ditatapnya wajah itu, dan diusap-usap rambutnya. Dan perlahan dipindahkannya kepala Langit ke pangkuannya. Dan ia pun ikut memejamkan mata.
Dari depan pintu yang setengah terbuka, Mentari memandangi keduanya sambil tersenyum. Ditutupnya kembali pintu dengan perlahan, lalu berjalan ke dalam kamarnya tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...