Langit tertegun menatap Malia yang berdiri di hadapannya. Dia terlihat sangat berbeda. Dengan setelan baju kerja serba hitam, sepatu berhak tinggi dan rambut yang diikat rapi dia nampak elegan dan dewasa. Di bahunya tersandang tas kerja, dan tangannya menjinjing sebuah tas laptop. Ia seperti bukan Malia yang dikenalnya.
Tatapan Langit membuat Malia sedikit tersipu. "Kenapa? Kaget, ya?" Tanyanya.
"Kamu... mulai kerja?" Tanya Langit tak percaya.
Malia mengangguk. "Bantu Papa," sahutnya.
Langit kembali memandangi Malia. Hatinya dipenuhi banyak pertanyaan. Mengapa tiba-tiba dia bisa berubah? Mengapa cepat sekali? Baru saja kemarin dia merajuk karena tidak diperbolehkan ikut les lukis, dan tiba-tiba hari ini dia memutuskan untuk mulai bekerja? Ah! Rasanya tak percaya. Apa yang membuatnya tiba-tiba berubah? Ia tahu Malia memang selalu penuh kejutan. Tapi kali ini kejutannya sangat berbeda. Apakah ini karenanya? Tapi rasanya ia belum melakukan sesuatu yang cukup berarti untuk membuatnya berubah secepat itu.
"Ehm!"
Suara Malia menyadarkan Langit dari kebingungannya. "Oh! Maaf! Aku... Maksudku... apa kamu mau kopi?" Tiba-tiba saja Langit menjadi salah tingkah.
Malia kembali mengangguk. "Coffee Latte. Take away," sahutnya lagi.
"Mmm... mumpung masih sepi, apa kamu mau ngopi bareng aku?" Langit menatap ragu. Ah, kenapa ia jadi kembali tak percaya diri? Gerutunya.
Ajakan Langit membuat Malia keheranan. Ia tak menyangka dengan sikap Langit yang tiba-tiba berubah hari ini. Ia lalu mengangguk dan duduk menunggu di sudut ruangan, tempat pavoritnya.
Tak lama kemudian Langit datang dengan membawa dua cangkir kopi dan meletakkannya di atas meja. Dan kembali memandangi Malia dengan kagum. Dengan penampilannya saat ini tak akan ada seorang pun yang percaya bahwa dia pernah begitu putus asa hingga ingin mengakhiri hidupnya. Selama ini ia mengira Malia akan selalu menjadi gadis manja yang haus perhatian. "Kamu kelihatan dewasa dan... cantik," pujinya.
"Berarti kemarin-kemarin kamu menganggap aku masih kecil dan enggak cantik?" Malia pura-pura memasang wajah cemberut.
Langit tertawa, lalu menggeleng. "Kemarin kamu juga cantik, tapi aku suka kamu yang sekarang. Kamu seperti wanita mandiri. Aku bangga sama kamu!" Pujinya lagi.
"Kamu pikir aku cewek manja yang cuma bisa gangguin kamu kerja?" Sungut Malia. Membuat Langit kembali tertawa.
"Pasti Papa kamu sangat bangga!" Langit tak bisa membayangkan betapa bahagianya Pak Subagja melihat perubahan Malia yang sudah diharapkannya sejak lama.
Malia tersenyum. "Kamu yang bikin aku jadi berubah..." Ucapnya dengan tulus.
Langit menggeleng. "Itu karena kamu sendiri," elaknya. Ia memang merasa tak melakukan apa-apa.
Suara pintu yang terbuka tiba-tiba mengagetkan keduanya. Bima datang dengan menenteng boks roti dan sekantong besar belanjaan cafe. Sejenak ia terdiam di tempatnya, memandangi Malia sambil mengernyitkan kening. "Kamu... kerja?" Tanyanya tak percaya.
Malia mengangguk seraya menahan senyum melihat Bima yang kini menghampirinya dengan wajah yang keheranan.
"Wah! Selamat! Aku ikut senang!" Bima tak bisa menyembunyikan rasa suka citanya.
"Cuma bantuin Papa, Mas," sahut Malia.
Bima tersenyum. Ditepuk-tepuknya punggung Langit. Seolah ingin memberi selamat kepadanya karena telah membuat Malia berubah. "Jadi, kamu bakalan berkantor terus di sini?" Tanyanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...