Bab 3 : Perempuan Itu Bernama Malia

92 7 0
                                    

Suara klakson mobil yang terdengar nyaring membuat Langit buru-buru keluar dari dalam rumah. Setelah mengunci pintu ia pun melompat masuk ke dalam mobil. "Sorry, Mas, ngerepotin!" Sapanya pada pria di balik kemudi.

"Emang lu beneran udah gak pa-pa?" Tanya Bima seraya melajukan kembali mobilnya.

"Enggak! Dari semalam juga udah gak pa-pa. Cuma pingsan sebentar," sahut Langit seraya memegangi kepalanya yang sebenarnya masih terasa sakit. Tapi ia tak tega membiarkan Mas Bima sendirian incharge di cafe. Apalagi setiap hari Jumat Cafe lebih ramai dari hari biasanya.

"Hai, Vina!" Tiba-tiba saja Langit menurunkan kaca mobil saat melihat Devina yang tengah menyirami tanaman di halaman rumahnya. Dilambaikannya tangan pada gadis itu seraya menyunggingkan senyuman. Ia ingat pesan sang adik untuk membalas kebaikannya. Devina pun tampak terkejut lalu tersipu malu.

"Memangnya dia masih suka donasi makanan?" Tanya Bima yang dijawab Langit dengan seringai di wajahnya.
Bima mengeleng-gelengkan kepalanya.
"Habis kebentur otak lu jadi tambah ngaco. Lagian, ngapain sih lu semalam pakai naik-naik pagar tembok segala?" Tanyanya lagi.

Langit melongo menatap Bima. "Siapa yang manjat? Iseng amat gue?" Sahutnya kebingungan.

"Lah, kata Pak satpam cewek itu bilang lu yang manjat ke tembok, terus waktu lu lompat nimpa dia?" Bima ikut kebingungan.

Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. "Wah, bener tuh cewek memang stres." Langit menghela nafasnya dengan kesal. Lalu diceritakannya kembali kejadian yang dialaminya itu pada Bima.

Dan Bima pun tergelak setelah mendengar ceritanya. "Lu tau gak, cewek itu siapa?" Tanyanya kemudian.

Langit menggeleng. "Gak perlu tau. Buat apa juga?" sahutnya malas.

"Anaknya Pak Subagja!"

Jawaban Bima membuat Langit terkejut. Dipandanginya Bima tak percaya. "Yang punya Bagja Tower? Masak sih? Kok, gue gak pernah liat?" Tanyanya beruntun.

Bima menggeleng. "Mungkin baru pulang dari luar negeri. Ketiga anaknya kan, sekolah di luar semua," sahutnya.

"Terus kenapa dia stres? Sampai mau bunuh diri?" Tanya Langit lagi, penasaran.

Bima kembali menggeleng.

"Complicated hidup orang kaya," gumam Langit akhirnya. Dipalingkannya kembali wajahnya ke jalan yang macet di hadapannya.

Bima tersenyum. "Jangankan dia. Hidup lu aja complicated," sahutnya seraya melirik jam tangannya dengan gusar.

Tiga puluh menit kemudian mobil Bima berhenti di depan lobby gedung. "Sebelum makan siang gue udah balik ke cafe," ucapnya.

"Siap, Mas!" Sahut Langit sambil mengeluarkan boks roti dari kursi belakang, lalu masuk ke dalam gedung.

"Pagi, Mas Langit!" Pak Riswan menyambut Langit dengan senyuman ramahnya. Dengan sigap dibantunya Langit membawakan boks roti hingga ke dalam elevator.

"Thank you, Pak! Hari ini Pak Riswan tugas pagi?" Tanya langit.

"Ya, Mas. Maaf nih, gak bisa bantuin dulu," sahut Pak Riswan seolah tahu apa yang dipikirkan Langit.

Langit tersenyum. "Gak pa-pa, Pak!" Sahutnya. Ah! Padahal ia sangat berharap Pak Riswan dapat membantunya di saat-saat darurat seperti ini. Ia sudah terlambat hampir setengah jam. Dan ia harus menyiapkan cafe seorang diri karena Mas Bima harus pergi berbelanja.

Akhirnya empat puluh menit kemudian Langit pun siap membuka cafe. Dibaliknya tanda open di pintu kaca. Namun seketika ia menyadari, seorang wanita tengah berdiri tepat di depan pintu, memandangi dirinya sambil tersenyum. Sejenak Langit terpaku lalu melangkah mundur saat wanita itu mendorong pintu dan melangkah masuk.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang