Dari kursinya, Langit memandangi taman kecil yang asri dengan pepohonan yang rindang itu. "Udah lama gue gak main ke sini, Mas. Tambah banyak pohonnya."
Bima tersenyum. "Selama Eva dan Ibu nya di sini kemarin itu, mereka rajin merawat taman."
"Sejak kapan mereka pindah?"
"Baru dua minggu yang lalu. Gak jauh sih dari sini. Tapi sekarang mereka sewa rumah agak besar. Usaha kuenya sekarang lumayan berkembang. Pesanan online nya semakin banyak."
"Lu masih jadian, kan sama Eva?"
Bima mengangguk. "Emangnya elu, putus sambung melulu."
Langit tersenyum. "Gue gak tahu kenapa Malia sekarang ngejauhin gue."
"Mungkin dia masih butuh waktu."
"Waktu buat apa? Kan gue udah gak marah lagi?"
Bima menghela nafas panjang.
"Susah lu emang gak sensitif sama perasaan perempuan. Lu mikir gak, kenapa selama ini dia merahasiakan masa lalunya itu? Karena buat seorang perempuan menjaga kehormatan itu sama dengan menjaga harga dirinya. Kalau dia merasa sudah kehilangan kehormatannya sebagai perempuan, dia juga akan menganggap dirinya sudah gak berharga lagi. Dia malu."Langit terdiam. Mencoba mencerna kata -kata yang keluar dari mulut Bima.
"Ditambah lagi rasa bersalah dia karena kematian Ayah lu. Mungkin akhirnya dia merasa gak percaya diri lagi di hadapan lu."
"Tapi gue udah maafin dia, Mas."
"Lu udah bilang?"
Langit menggeleng.
"Kalau lu cuma kasihan sama dia, jangan dekatin dia lagi, Lang. Kasihan."
"Awalnya gue memang kasihan, Mas. Tapi lama - lama gue ngerasa ada yang hilang dari hidup gue sejak dia menjauh. Gue gak bisa berhenti mikirin dia."
Bima tertawa. "Kangen lu, ya? Makanya tuh emosi jangan digedein. Hati lu gedein. Biar bisa belajar sabar."
Langit tersenyum. "Terus gue mesti gimana supaya bisa ketemu dia?"
"Lu pakai cara dia."
Langit memandang Bima dengan bingung. "Cara dia?"
Bima mengangguk. "Cara dia waktu ngejar - ngejar lu."
Langit mengerutkan keningnya. Dicobanya mengingat kembali saat-saat Malia sering mengganggunya. Dengan sikapnya yang aneh, spontan, dan sering memancing emosinya. Langit tersenyum ketika mengingat itu semua. Kini ia semakin merindukannya.
...
Dari depan pagar rumah yang tertutup, Langit masih berdiri menatap jendela kamar Malia. Sudah hampir dua jam ia berdiri di sana. Matahari sudah hampir meninggi, tapi Malia tetap tak mau membiarkannya masuk. Ia sama sekali enggan bertemu dengannya. Bahkan kedua orang satpam rumahnya pun enggan mendekatinya. Mereka seperti trauma Langit akan kembali mengamuk di sana. Dan di hari libur ini, mengapa tak ada satu pun orang yang keluar dari rumah itu sehingga ia bisa menyelinap masuk ke dalamnya?
"Maliaaaa! Kalau kamu gak mau bukain aku pintu, aku akan menunggu sampai malam!" Teriaknya lagi entah untuk yang keberapa kalinya. Kerongkongannya sudah sakit karena terus berteriak. Beberapa tetangga Malia bahkan sudah mulai curiga padanya. Kepala - kepala mereka terlihat mulai menyembul dari balkon - balkon rumah. Mengamati Langit dari kejauhan.
Sepuluh menit kemudian, pintu besi itu pun akhirnya terbuka. Dengan takut -takut seorang satpam mengantarkannya masuk ke dalam rumah dan memintanya menunggu di taman dekat kolam renang. Tempat Langit biasa menghabiskan waktu bersama Malia. Langit mengamati sekelilingnya. Rumah besar itu sangat sepi. Seperti tidak ada penghuninya.
![](https://img.wattpad.com/cover/327001480-288-k192150.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...