Dari kursinya Langit mengamati Mentari dengan curiga. Sudah setengah jam makanan di piring adiknya itu belum habis juga. Sedari tadi dia sibuk berkirim pesan entah kepada siapa. Sesekali dia tersenyum-senyum sendiri. Dan sesekali mencuri pandang ke arahnya.
"Sini, Mas liat hape kamu. Dari tadi Mas perhatiin kamu main hape terus sampai gak dimakan makanannya!" Omel Langit. Diulurkannya tangan untuk meminta paksa ponsel Sang Adik.
Mentari mengangkat wajahnya dengan terkejut. Lalu dengan reflek menjauhkan ponsel dari Sang Kakak. "Iiih. Apaan sih Mas Lang. Gak boleh! Itu namanya melanggar privasi!" Ucapnya.
"O ya? Bukannya kamu yang udah melanggar privasi Mas dari kemarin-kemarin?" Langit menatap Mentari sambil melotot.
Mentari memandang Langit sambil mengernyitkan keningnya. Pura-pura tak mengerti.
"Gak usah pura-pura, deh! Mas udah tahu kamu jadi mata-matanya Malia. Kamu pasti tadi lagi laporin Mas ke Malia, kan? Dia pasti tanya, makanan pesanan dia udah Mas makan apa belum? Ya, kan?" Tanya Langit lagi dengan gemas.
Kentara sekali Mentari menutupi rasa terkejutnya. "Enggaaak, kok! Aku enggak bilang apa-apa!" Sahutnya membela diri. Diletakannya ponsel di samping piringnya, lalu buru-buru menyuap makanannya.
Langit mengamati ponsel itu. Keningnya berkerut. Ada yang aneh... kenapa ponsel Mentari kelihatan berbeda? Direbutnya dengan cepat ponsel itu sebelum Mentari menyadarinya. "Ini baru?" Tanyanya terkejut saat menatap ponsel di tangannya.
Mentari pun mendadak gelagapan. Uuh! Kenapa Mas Langit bisa tahu? Gerutunya. Padahal ia sudah menutupinya dengan casing yang baru. Ditelannya makanannya yang kini terasa serat. "Aku tukar tambah sama hape yang lama," sahutnya.
Tapi Langit tak percaya. Ditatapnya wajah Mentari dengan tajam. Menunggunya berkata jujur.
Dan Mentari akhirnya menyerah. Ia memang tidak bisa membohongi Sang Kakak, karena kalau sampai ketahuan berbohong, Langit akan menyita ponselnya. Dan dia pernah melakukan itu sebelumnya. "Iya, itu baru. Hadiah dari Kak Malia," sahutnya sambil tertunduk.
Langit mendorong punggungnya ke belakang. Digeleng-gelengkan kepalanya seraya menatap adiknya tak percaya. "Kapan dikasihnya?" Tanyanya lagi.
"Seminggu yang lalu!"
Langit mencoba mengingatnya. Itu tepat sehari setelah ia mengajak Devina nonton film. Pantas saja sekarang Mentari sudah tidak minta ditemani Devina lagi di rumah.
Kini Langit membuka ponsel itu. Dibacanya percakapan dalam aplikasi perpesanan antara Malia dan Mentari. Ia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan kembali menatap adiknya itu dengan gemas. "Kamu sampai kasih tahu ukuran baju dan celana Mas ke Malia, buat apa, De?" Tanyanya sambil terus membacanya. Pantas saja Malia tahu segala hal tentang dirinya. Langit mengusap wajahnya. Lalu meremas rambutnya. Malia keterlaluan sekali. Ternyata selama ini dia hanya berubah di depannya saja. Tapi di belakangnya diam-diam dia menggunakan cara lain untuk mengontrolnya.
"Kamu tahu gak, apa artinya ini buat, Mas?" Dengan wajah kesal Langit menunjukan isi percakapan itu pada Mentari.
"Itu namanya Kak Malia perhatian! Berarti dia pacar yang baik," sahut Mentari dengan entengnya.
Langit memandang adiknya dengan putus asa. Ya, Tuhan! Malia sudah mencuci otak Mas Bima, dan sekarang dia mencuci otak adiknya juga?
"Kalau kamu perlu hape baru, kamu bisa minta beliin sama Mas, De. Gaji Mas sekarang udah naik!"
"Tapi itu kan, hasil kerjaku juga, Mas," sahut Mentari membela diri.
Dan Langit kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sudah kehabisan kata-kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...