"Pak Riswan!"
Dari halaman parkir Langit berlari dan
memanggil Pak Riswan yang baru saja keluar dari dalam elevator."Pagi, Mas Langit!" Sapa Pak Riswan dengan senyumnya yang ramah.
"Pagi, Pak! Saya ada perlu sebentar, Pak!" ucap Langit dengan nafas tersengal.
"Perlu apa, Mas?" Pak Riswan memandang Langit dengan penasaran.
Langit menarik Pak Riswan ke sudut lobby. "Pak Riswan kenal sama yang namanya Eva itu, kan?"
"Ya, kenal begitu saja, Mas. Kalau ketemu ya, nyapa. Gak kenal dekat. Ada apa toh, Mas?" Tanyanya semakin penasaran.
"Saya mau minta tolong, Pak. Mintain saya nomor hape-nya."
Pak Riswan memandang Langit dengan ragu.
"Saya cuma mau minta maaf!" Sahut Langit menjawab keraguan di wajah Pak Riswan.
"Tapi... gimana kalau ketahuan Mbak Malia, Mas? Saya bisa dipecat!" Pak Riswan menatap Langit dengan khawatir.
"Ya, jangan ketauan, Pak!"
Pak Riswan menggaruk-garuk kepalanya.
"Begini, deh. Bilang aja, Pak Riswan minta nomor teleponnya buat data keamanan. Kalau terjadi keadaan darurat."
Sejenak Pak Riswan bepikir. "Saya usahakan ya, Mas! Tapi gak janji loh. Kalau dianya gak mau ngasih, ya gak bisa dipaksa, toh?"
Langit mengangguk. "Kalau dia gak mau ya, gak pa-pa. Saya minta nomornya Pak Riswan, nanti kita saling chat aja, Pak."
Pak Riswan mengangguk dengan wajah terpaksa.
Langit menepuk bahu pria itu sambil tersenyum. "Makasih, Pak!" Ucapnya. Lalu secepatnya masuk ke dalam elevator yang terbuka di hadapannya.
Danar tengah merapikan meja konter saat Langit tiba di cafe. "Pagi, Mas Langit!" Sapanya.
"Pagi, Nar!"
"Ada kirimin paket Mas, dari Mbak Malia. Makanan kayaknya." Danar mengulurkan sebuah paper bag pada Langit.
Dari Malia? Tumben dia kirim sarapan pakai kurir? Dikeluarkannya sebuah kotak makanan dari dalam kantong.
"Pagi semua!"
"Pagi, Mas!" Sapa Langit seraya memandang heran Mas Bima yang datang tanpa membawa boks roti. "Tumben, gak bawa roti, Mas?" Tanyanya.
Bima menggeleng. "Gak sempat bikinnya. Semalaman gue bikin laporan keuangan cafe."
Langit terkejut mendengar jawaban Bima. Selama tiga tahun ia bekerja bersamanya, Mas Bima tak pernah sekalipun absen bikin roti, kecuali di hari libur. Tapi sekarang ia tidak sempat membuatnya karena sibuk membuat laporan? Aah, jelas sudah! Ia pasti membuat laporan keuangan untuk partner bisnis barunya, Malia.
"O ya, Lang. Malia ke Surabaya hari ini sama Pak Bagja. Dia hubungi lu tapi katanya hape lu mati," ujar Bima lagi.
"Oh, ya?" Langit tersenyum senang. Pantas dia kirim sarapan pakai kurir, gumamnya. Sudah beberapa hari ini ia memang selalu mematikan ponsel saat tiba di rumah karena tak ingin Malia mengganggunya. Lagipula tanpa kabar darinya pun, mata-mata yang tinggal satu atap dengannya itu pasti selalu mengabarkan keadaannya.
Sebuah pesan masuk terdengar dari ponsel Langit. Ia tersenyum membacanya. Pak Riswan sudah berhasil mendapatkan nomor ponsel Eva. Dengan cepat ia lalu berjalan ke teras untuk meneleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomantikKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...