Bab 12 : Makan Malam Romantis

61 6 0
                                    

Langit tertegun menatap Malia yang berdiri di hadapannya. Dengan baju terusan bermotif bunga, rambut ikalnya yang dibiarkan tergerai dan riasan wajahnya yang sempurna. Dia nampak sangat anggun.

Malam ini Malia memang mengajaknya untuk makan malam di restoran. Dan seharusnya ini hanyalah makan malam biasa. Tapi karena Malia mengajaknya di Sabtu Malam dengan penampilan yang tak seperti biasanya, ia merasa seperti akan pergi berkencan dengannya.

"Hai!" Malia melambaikan tangannya di depan wajah Langit yang masih terkesima menatapnya.

Langit pun segera tersadar lalu tersipu malu. "Oh! Sorry! Mmm... masuk dulu, deh. Aku belum ganti baju," ujarnya. Tiba-tiba saja ia menjadi gugup.

Mentari langsung berlari menyambut Malia begitu mendengar suaranya. Tak  lama kemudian keduanya pun saling berbincang dengan akrab.

Kini Langit menatap dirinya di depan cermin. Ditatanya rambut dengan rapi. Dikenakannya setelan kemeja putih dan celana panjang berwarna biru untuk membuatnya serasi dengan penampilan Malia. Dan itu adalah setelan ketiga yang dicobanya. Ia tak ingin membuat Malia malu. Dihembuskannya nafas untuk menenangkan hatinya. Ini adalah pertama kalinya ia kembali bermalam mingguan dengan seorang wanita setelah lebih dua tahun ia tak pernah melakukannya. Sejak perempuan itu meninggalkannya. Ah! Langit buru-buru menghapus bayangan itu di benaknya, lalu keluar dari dalam kamar dengan hati berdebar. Entah kenapa melihat penampilan Malia yang sangat cantik membuat ia jadi tak percaya diri.

Malia menatap Langit dengan takjub. Senyuman lebar tersungging di wajahnya. Ia tak menyangka cowok galak yang biasanya hanya memakai celana jeans belel dan kaos oblong itu bisa berpenampilan rapi dan elegan. Langit memang pernah berpenampilan rapi saat bertemu kedua orang tuanya waktu itu. Tapi kali ini dia terlihat berbeda. Dia seperti seorang model tampan dan macho dalam sebuah iklan rokok. Dan ia merasa sangat tersanjung karena dia berpenampilan seperti itu untuk pergi bersamanya.

Mentari bersiul. "Ehm! Ganteng banget Masku!" Ledeknya, membuat Langit salah tingkah.

"Yuk! Kita berangkat sekarang!" Malia menarik tangan Langit ke teras rumah, lalu meraih helm di atas motornya.

Langit membelalakan mata. "Kamu mau naik motor dengan penampilan kayak gitu?" Protesnya.

Malia mengangguk. "Memangnya kenapa? Aku gak apa-apa kok, naik motor. Beneran!" Sahutnya, mencoba meyakinkan Langit bahwa dia tak malu bepergian dengan motornya.

"Enggak!" Sahut Langit dengan galak. Kenapa selalu saja ada drama? Gerutunya.

"Tapi..."

"Kalau kamu maksa aku gak mau pergi!" Kini Langit menatap Malia dengan sorot mata mengancam.

"Ok! Ok!" Malia akhirnya menyerah. "Kalau gitu pakai mobilku aja, dari pada nunggu taksi lama?" Ucapnya lagi saat melihat Langit membuka ponselnya untuk memesan taksi. Dan kali ini Langit menurutinya.

Di dalam mobil Malia tak berhenti menatap Langit sambil menggenggam tangannya, membuat jantung Langit berdebar semakin kencang. Sudah lama ia tak terbiasa dengan hal ini. Perasaan aneh itu kini kembali muncul di hatinya.

"Ehm, sorry!" Langit pura-pura terbatuk, lalu menarik tangannya untuk menutup mulut. Lirikan Pak supir dari cermin di atas kemudi membuatnya gugup dan salah tingkah. Ia takut sang supir melaporkannya pada Pak Subagja karena dianggap melampui batas.

Hari mulai menjelang malam saat mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan lobby sebuah hotel bintang lima.

"Kamu kok gak bilang kalau kita mau makan di hotel?" Tanya Langit saat mereka sudah keluar dari dalam mobil.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang