Langit tak bisa menyembunyikan wajah terkejut sekaligus kekagumannya, saat melihat teras belakang cafe yang kini berubah menjadi sangat indah. Deretan tanaman dalam pot-pot besar, dengan sofa-sofa empuk, dan lampu-lampu yang temaram menyulap teras layaknya sebuah taman rooftop yang asri dan romantis. Siapa pun akan betah berlama-lama berada di sana.
Langit memandang Bima yang tengah mengatur meja dan kursi bersama Danar. "Kapan dikerjainnya, Mas? Kok udah jadi aja?" Tanyanya bingung.
"Akhir pekan kemarin. Pas libur," sahut Bima dengan bangga.
"Kok, lu gak ngasih tau gue? Tau gitu kan, gue bisa bantuin?"
"Udah ada Pak Tommy sama anak buahnya yang kerjain. Gue cuma datang ngawasin aja. Bagus, kan?" Bima tersenyum lebar.
Langit mengangguk. "Keren, Mas!" Sahutnya sambil mencoba duduk di atas sofa.
"Lu bisa pacaran disini sama Malia. Biar gak ada yang ganggu. Kalau malam lampunya itu romantis banget."
"Apaan sih lu, Mas!" Sungut Langit.
"Loh, beneran kok. Ini kan, sengaja dibikin konsep romantis sama Ma..."
Tiba-tiba Bima tak melanjutkan kalimatnya. Ia malah pura-pura terbatuk.
Langit menatapnya curiga. "Malia?" Tanyanya.
"Maunya gue, maksudnya!" Sahut Bima.
Tapi Langit tak percaya. Ia sudah yakin ini adalah ide Malia. Bahkan ia juga yakin jika saat ini dia sudah bekerja sama dengan Mas Bima untuk menjadi investor Cafe Dewa. Dan ia percaya Malia merubah tempat ini bukan untuk pelanggan semata, tapi untuk dirinya sendiri. Agar dia lebih nyaman saat berada di sini. Bahkan mungkin sebentar lagi dia akan mengadakan meeting di teras ini.
"O ya, Lang. Tempat ini mau dipakai meeting nanti sore. Jam empat sampai jam enam. List-nya udah gue tempel di konter," ujar Bima, lalu melangkah masuk ke dalam cafe.
Langit tersenyum. Benar saja dugaannya. Percuma saja ia menjaga jarak jika akhirnya mereka akan sering bertemu kembali.
"Hai!" Sebuah suara membuat Langit menoleh. Malia sudah berdiri di hadapannya sambil memegang secangkir kopi. "Kamu udah sarapan?" Tanyanya seraya duduk di samping Langit.
Langit mengangguk. "Kamu?" Tanyanya balik.
Malia menggeleng. "Belum sempat," sahutnya.
"Mau aku ambilin roti?" Tanya Langit lagi.
Malia menggeleng. "Nanti aja," sahutnya, lalu memandangi sekeliling teras dengan kagum.
"Kamu suka?" Tanya Langit. Ia benci sekali harus berpura-pura.
Malia menyesap kopinya, lalu mengangguk. "Nanti sore aku ada meeting disini," sahutnya.
Langit tersenyum. Ya, tentu saja. Sekarang dia akan meeting setiap hari di sini, karena ini miliknya.
Sebenarnya Langit ingin sekali mempertanyakan tentang perubahan teras itu. Tapi, ia takut dianggap terlalu ikut campur. Biar bagaimana pun ia hanyalah seorang karyawan di cafe ini. Ia tak punya hak untuk melarang Mas Bima melakukan apa saja yang ia mau, termasuk bekerja sama dengan Malia. Lagipula sepertinya Malia memang tidak ingin ia tahu.
"Gimana liburan kamu kemarin?" Tanya Malia tiba-tiba. Wajahnya berubah datar.
Langit terdiam, memikirkan jawaban. Ia tahu Mentari pasti sudah memposting foto-foto mereka semalam di sosial medianya.
"Biasa aja," sahut Langit. Tapi kemudian ia berubah pikiran. Ia tak mau lagi menyembunyikan sesuatu darinya. Ia tidak ingin ada drama lagi dalam hubungan mereka yang mulai membaik. "Hmm, Mentari dan Devina ngajak aku jalan ke mall. Kita makan malam dan nonton," imbuhnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...