Bab 2 : Menyelamatkan Perempuan Depresi

111 7 0
                                    

"Lang, gue balik duluan, ya? Roti masih tujuh biji nanti dibawa pulang aja atau kasih ke satpam," ucap Bima. Ia sudah bersiap pulang. Ditangannya tertenteng boks rotinya yang kosong.

"Ok. Hati-hati, Mas!" Sahut Langit seraya membalas lambaian tangan Bima.

Kini Langit memandang sekeliling ruangan cafe. Kursi-kursi sudah dinaikan ke atas meja. Lantai sudah dibersihkan. Mas Bima juga sudah membereskan meja konter. Tugasnya sudah selesai. Dari jendela kaca teras, dilihatnya hari mulai gelap. Sebentar lagi Azan Maghrib. Kini ia baru merasakan perutnya keroncongan. Lambungnya hanya diganjal satu buah roti saja selepas Zuhur tadi. Langit buru-buru memakai jaketnya, bersiap untuk pulang ketika tiba-tiba ia mendengar suara mencurigakan dari teras belakang.

Dengan penuh waspada perlahan Langit membuka kembali pintu belakang. Matanya dengan tajam menyisiri seluruh area itu. Hanya terdengar suara kompresor yang masih menyala. Kursi yang didudukinya tadi pun masih kosong. Tak ada satu pun orang di sana.

Kini Langit melangkahkan kakinya lebih jauh. Menyusuri teras berlantai semen hingga ke sudut area yang gelap. Dan matanya tiba-tiba terpaku pada sesosok wanita yang berdiri membelakanginya, di atas pagar tembok yang sempit. Tampak ia sudah bersiap-siap untuk melompat terjun ke jalanan di bawahnya. Sepatunya sudah ia lepaskan di lantai. Dan keduanya kakinya tampak gemetar.

"Heiiii!!" Langit berteriak.

Dan wanita itu menoleh dengan terkejut, lalu menatap Langit dengan kedua matanya yang basah. Sorot matanya tampak putus asa. "Jangan mendekat!" Teriaknya dengan suara bergetar.

Langit menghentikan langkah dengan kedua tangan diangkat di depan dadanya. Jantungnya berdegup kencang. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Ok! Gue bukan mau ngelarang lu bunuh diri. Tapi please! Jangan disini. Ini tempat gue nyari duit. Kalo lu mati di sini, cafe gue sepi. Terus gue dipecat. Ade gue gak makan, gak bisa sekolah. Terus gue mau minta sama siapa? Lu enak udah jadi arwah!"

Wanita itu memandang langit dengan kesal. Ia lalu memalingkan wajahnya kembali ke depan, bersiap-siap untuk kembali melompat.

"Ok! Ok! Ok! Gini deh, lu kalo mau bunuh diri jangan di sebelah situ. Bawahnya pos satpam. Lu gak bisa langsung mati. Mending geser dikit ke sini yang terang. Bawahnya paaas banget jalanan." Kini langkah Langit semakin mendekat. Jantungnya semakin berdegup kencang. Tangannya gemetar, siap menarik gaun panjang wanita itu yang berkibar-kibar tertiup angin. Dan ketika wanita itu akhirnya menoleh kembali, dengan sigap Langit pun menarik gaunnya hingga wanita itu pun jatuh menimpanya. Dan Langit pun terhempas ke lantai semen yang keras. Ia merasakan sakit luar biasa di kepalanya. Dilihatnya wanita itu langsung bangun dengan wajah yang panik.

"Kamu gak pa-pa?" Wanita itu mencoba membantu Langit untuk bangun. Tapi Langit meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Ia merasa pusing tujuh keliling. Samar-samar dilihatnya wanita itu semakin panik. Ia lalu memejamkan matanya menahan sakit. Dan tak ingat apa-apa lagi.

Langit membuka mata ketika menyadari ia tengah berada di sebuah kendaraan yang berjalan. Dan sesaat ia merasakan kepalanya berada di atas bantal empuk di dalam kamarnya. Namun kemudian ia melihat wajah itu sangat dekat. Langit pun bangun sambil menjerit. Membuat mobil berhenti tiba-tiba.

"Kok, lu lagi?" Omel Langit. Ia terkejut melihat wanita itu masih bersamanya. Rupanya tadi kepalanya berada di atas pangkuannya.

"Bukannya terima kasih. Gue lagi berusaha nolongin lo. Gue mau bawa lo ke rumah sakit!" Wanita itu pun tak kalah terkejut dan kesalnya dengan reaksi Langit.

"Gak usah! Gue gak pa-pa. Udah sadar. Gue mau balik aja," sahut Langit seraya memegangi kepalanya yang masih terasa sakit.

"Ke rumah sakit aja kali. Diperiksa dulu. Kalo kenapa-kenapa?" Wanita itu memandang Langit dengan cemas.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang