Bima mengamati Langit sedari tadi. Keningnya berkerut. "Lu kenapa? Dari pagi uring-uringan terus?" Tanyanya.
"Gak pa-pa, Mas" jawab Langit tanpa menoleh.
Tapi Bima tak percaya. Dipandanginya Langit dari dekat. "Lu berantem lagi sama Malia? Kemarin sore lu tiba-tiba menghilang begitu aja. Ada apa, sih?" Kejarnya.
Langit memandang Bima. Lalu menggeleng. "Gak ada apa-apa, Mas! Gak penting!" Elaknya lagi.
"Gak penting tapi lu pikiran! Gak biasanya lu kayak gini?"
Langit tetap tak menjawab. "Gue ijin ke kantin dulu, Mas. Makan siang!" Pamitnya kemudian. Ia sengaja ingin menghindari Bima yang terus mengejarnya dengan pertanyaan yang malas untuk dijawabnya.
Di kantin, Langit menghisap rokoknya. Ia sudah selesai makan sejak tadi. Tapi Mas Bima membuatnya malas untuk cepat-cepat kembali. Kenapa dia sekarang cerewet sekali? Dia selalu saja mau tahu semua urusannya, dan mengawasi semua gerak-geriknya. Dasar mata-mata, gerutunya.
Ia merasa kehabisan energi hari ini. Semalaman ia tak bisa tidur. Bahkan ia tak menyantap makan malam yang dikirim Devina.
Devina... Langit merenungi nama itu. Apa ini yang dirasakan Malia saat melihat ia bersamanya? Ah! Kenapa ia jadi seperti dia? Tapi ia melihatnya dengan mata kepala sendiri, bagaimana mesranya mereka. Dan pagi ini dia bahkan tak datang ke cafe. Dia pasti sibuk menemani laki-laki itu dari pagi. Atau mungkin dari semalam? Langit menghembuskan asap rokoknya dengan kesal.
"Mas Langit... aku boleh duduk di sini, ya?" Seorang perempuan manis menyapa Langit. Ia membawa sepiring gado-gado di tangannya. Langit mengangguk sambil tersenyum.
"Tumben, Mas, makan di kantin?" Tanya perempuan itu sambil menarik kursi di hadapan Langit.
Langit mematikan rokoknya. "Ah, sering, kok. Kamu kali yang jarang lihat saya? Kalau saya sih, sering lihat kamu," goda Langit. Ia memang jarang sekali makan siang di kantin. Ia lebih sering pesan antar atau membeli online lalu menikmatinya sendirian di teras belakang. Meski sekarang ia tak bisa benar-benar sendirian lagi sejak teras beralih fungsi.
Perempuan itu mengernyitkan keningnya. "Masak, sih?" Sahutnya bingung.
Dan akhirnya Langit tak bisa lagi menyembunyikan kebohongannya. Ia pun lalu tertawa.
"Tuuuh, kan... Mas Langit bohong!" Perempuan itu pun dengan gemas mencubit tangan Langit.
Dan Langit pun pura-pura meringis kesakitan sambil mengusap-usap tangannya.
Tanpa diketahui Langit, dari kejauhan Malia memandanginya dengan wajah memerah menahan amarah. Dan tak lama kemudian ia berbalik pergi.
...
Langit cepat-cepat membereskan pekerjaannya. Ia harus segera pulang. Langit mendung sedari tadi membuatnya khawatir. Ia tak ingin menerobos hujan. Kondisinya sedang tidak fit saat ini. Ia kurang tidur dan makan. Ia tak mau jatuh sakit lagi. Ia ingin secepatnya tiba di rumah dan tidur sampai pagi.
Tapi tiba - tiba pintu terbuka. Malia masuk dengan wajah yang masam. "Aku mau bicara!" Ucapnya.
Langit menarik nafasnya. Ada apa ini? Kenapa dia selalu saja membuat drama saat ia akan pulang? Namun akhirnya ia mengikuti langkah Malia yang berjalan ke teras cafe.
Dan kini Malia menatap Langit tanpa ekspresi. Ia menghela nafasnya dalam-dalam sebelum mulai mengeluarkan kata. "Aku tahu, kamu masih menganggap hubungan kita ini enggak jelas. Tapi tolong hargai aku... kalau kamu mau menggoda perempuan lain, jangan di sini! Dan jangan dengan anak buahku!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomanceKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...