Bima duduk di samping Langit yang tengah menatapi gedung-gedung pencakar langit sambil memainkan rokok di tangannya. Diambilnya rokok itu lalu menghisapnya. Langit memandang Bima dengan bingung. Sejak kapan ia mulai merokok lagi? Tanyanya di hati.
Bima mengepulkan asap rokok itu ke udara. "Pak Bagja gak mau dibalikin uangnya. Dia bilang itu bukan bayaran lu. Dia kasih itu sebagai hadiah untuk penyewa gedung Bagja Tower."
Langit tertawa dingin. "Lu bilang kan, kalau gue mengundurkan diri?"
Bima mengangguk, lalu menghela nafas panjang. "Sorry, Lang. Gue gak semestinya ngomporin lu waktu itu," sesalnya.
Langit menggeleng. "Gak ada yang tahu, Mas. Kita gak pernah benar-benar bisa menilai seseorang dengan tepat," sahut Langit. "Kayak sekarang gue baru tahu ternyata lu udah ngerokok lagi," sindirnya.
Bima tertawa kecil. "Emang lu aja yang stres," sahutnya. "Lu yakin dia gak bakal datang nemuin lu lagi?" Tanyanya ragu.
Langit menggeleng. "Gak tau. Paling gak sekarang dia tahu, dia udah gak punya hak lagi ngatur-ngatur hidup gue seenaknya."
Bima menganggukan kepalanya. "Terus lu mau ngomong apa nanti ke Mentari? Dia pasti udah gak percaya lagi. Gak mungkin juga lu ceritain ini ke dia, kan?"
Langit mengangguk. "Lu pegang aja, Mas. Gue juga gak tau mau diapain tuh, duit kalau Mentari gak mau."
Bima kembali mengangguk. Dimatikannya rokok di tangannya. "Lu juga kan, udah janji sama Mentari buat berhenti merokok," ucapnya seraya beranjak bangun. "Gue balik duluan!" Ucapnya lagi sebelum kemudian menghilang di balik pintu.
Langit menghabiskan sisa kopinya yang sudah dingin, lalu menyandarkan punggungnya ke belakang kursi. Hari mulai gelap. Dan udara mulai terasa dingin. Dari kejauhan nampak lampu-lampu gedung yang mulai menyala. Langit meluruskan kedua kakinya di pagar tembok lalu menghembuskan nafasnya dengan berat. Baru kali ini ia merasa malas pulang. Sejak kejadian kemarin itu Mentari tak menegurnya lagi. Bahkan ia tak membalas pesan singkatnya sejak siang tadi. Tak ada yang bisa membuatnya cemas di dunia ini selain adik tercintanya itu.
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuat Langit menoleh. Malia berdiri di sana. Memandang Langit dengan wajah sembab, dan rambut kusut yang diikat kuncir kuda. Langit langsung beranjak dari duduknya. "Kalo lu mau bunuh diri lagi, gue gak akan ngehalangin lagi!" Ucapnya sambil melangkah ke arah pintu. Namun tangan Malia menghentikan langkahnya.
"Please!" Malia menatap Langit dengan wajah memohon.
"Apalagi?" Sahut Langit acuh seraya berusaha melepaskan tangan Malia yang memeganginya.
Tapi Malia malah memeluknya. Lalu menangis di dadanya. "Maafkan, aku," isaknya. Tapi Langit hanya terdiam. Ia sudah lelah dengan drama yang dimainkannya.
Lama Malia terisak di sana. Dan Langit membiarkannya. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan jika sikapnya selalu saja dianggap salah. Tapi Malia seperti tak ingin melepaskannya. Kedua tangannya semakin erat memeluknya.
Dan akhirnya Langit menyerah. Air mata Malia yang membasahi dadanya membuat hatinya perlahan melunak. "Kamu bikin aku bingung," ucapnya lirih.
Malia menatap Langit dengan sorot mata putus asa. "Aku takut. Melihat dia menatap kamu aku tahu dia mencintaimu. Devina gadis yang sempurna. Dia tak punya masa lalu kelam seperti aku. Aku gak bisa bersaing dengannya. Kamu pasti akan memilih dia, kan? Karena kamu tahu hidupmu akan selalu baik-baik saja bersamanya."
Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Kecemburuan Malia pada Devia sungguh tak masuk akal. Dia seolah menganggap serius hubungan mereka. Ia tahu Malia mencintainya, tapi bukankah dia juga tahu kalau ia hanyalah seseorang yang dibayar untuk menjadi temannya? Ia tak ingin memikirkan sesuatu yang tak mungkin terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
RomansaKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...