Langit membuka apron-nya. Bersiap-siap menunggu Malia datang untuk makan siang bersama di kantin. Tapi tiba-tiba saja Malia mengirimkan pesan singkat yang meminta untuk menjemputnya di kantor? Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Bukankah kantin itu jaraknya lebih dekat dari cafe? Dasar manja, keluhnya. Bukan masalah jarak yang tidak disukainya. Tapi ia tak suka menjadi pusat perhatian di kantor itu. Ia risih dengan tatapan mereka yang membuatnya merasa terintimidasi.
Dengan malas Langit akhirnya melangkahkan kakinya. Dan ternyata benar yang dikatakan Eva. Sekarang tak ada lagi yang berani menyapanya seperti biasa. Mereka hanya tersenyum kaku menyambutnya. Bahkan Eva pun tak berani menatapnya.
Malia keluar dari sebuah ruangan berdinding kaca lalu menarik Langit masuk ke dalam dan menutup pintunya.
"Kita makan di sini?" Tanya Langit saat dilihatnya Malia mengeluarkan boks-boks makanan dari sebuah kantong besar bertuliskan nama Restoran Jepang pavoritnya. Dan saat Malia mengangguk ia pun kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa dia selalu saja merubah rencananya? Keluhnya.
Sambil duduk di atas sofa empuk, Langit memandangi sekeliling ruangan itu. Ruang kerja yang besar dan nyaman. Dengan furniture serba kayu dan wallpaper berwarna lembut, membuat siapa pun betah berlama-lama berada di sana. Tiba-tiba saja ia ingin kembali memejamkan mata.
"Kamu pasti betah kerja di sini?" Langit menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Malia tersenyum. "Kadang bosan," sahutnya.
"Kalau bosan aku bisa temanin."
"Beneran?"
"Mmm... maksudku sekali-sekali," sahut Langit tergagap.
Malia tersenyum. Diulurkannya sepiring sushi pada Langit.
Langit lalu menatap Malia. "Kamu beruntung," ucapnya.
"Beruntung?" Malia mengangkat kedua alisnya.
"Kamu punya segalanya," imbuh Langit.
"Maksud kamu materi?"
Langit mengangguk. "Paling tidak kalau mau seharian tidur pun kamu gak takut dipecat."
Malia tertawa. "Memangnya kamu takut dipecat?" Tanyanya.
Langit mengedikkan kedua bahunya. "Banyak orang-orang yang menggantungkan hidup di sini. Mungkin banyak juga yang menjadi tulang punggung keluarga seperti aku," sahutnya.
"Maksud kamu seperti Eva?"
Langit terdiam. Mulutnya berhenti mengunyah. Ditatapnya Malia kembali. Ia bahkan tak tahu jika Eva seorang tulang punggung keluarga.
"Aku tahu semua latar belakang anak anak buahku," ucap Malia lagi.
"Dia pasti sudah cerita banyak sama kamu, kan? Kalau Ayahnya sudah meninggal dunia, dan dia harus menghidupi Ibu dan adiknya?" Kini suaranya terdengar cemburu.Langit menggelengkan kepala sambil menatap Malia dengan bingung. "Aku gak tahu. Dia gak cerita apa-apa," ucapnya.
Malia menatap Langit dalam-dalam. Seolah ingin memastikan ia tidak berdusta.
Langit mengusap wajahnya sambil menghela nafas. Sungguh ia sudah lelah untuk memulai pertengkaran lagi "Kamu masih mau bahas soal dia?" Tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Rahasia Langit
Roman d'amourKetika Sang Ayah meninggal dunia karena menjadi korban tabrak lari, dan disusul dengan kematian Sang Ibu, hidup Langit serasa jungkir balik. Ia harus putus kuliah dan bekerja sebagai seorang barista di Cafe Dewa demi menghidupi adik semata wayangnya...