Bab 45 : Rasa Yang Aneh

36 7 0
                                    

"Mas..."

Langit mengangkat wajahnya. Dilihatnya Mentari tampak ragu untuk berkata.
"Kenapa?" Sahutnya sambil menaburkan bunga terakhir dalam genggamannya di atas pusara sang Ayah.

"Mas masih marah sama Kak Malia?" Tanya Mentari. Diletakannya keranjang bunga yang sudah kosong di sampingnya. Ditunggunya Langit menjawab. Tapi Langit hanya terdiam, lalu kembali tertunduk.

Mentari memaksa dirinya untuk duduk di atas rerumputan yang masih basah terkena embun pagi. Dirapikanya taburan bunga di atas pusara Ibunya, menunggu Langit bicara. Tapi Langit tak juga menjawab.

"Biar pun Mas marah seumur hidup, itu tak akan membuat Ayah dan Ibu kembali," ucapnya. Ditatapnya mata Langit.

Langit menghela nafasnya. "Mas belum bisa memaafkannya."

"Mungkin Mas harus memberi dia kesempatan bicara. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."

"Gak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semua sudah begitu gamblang. Ada saksinya. Dan dia mengakuinya."

"Pasti ada alasan kenapa dia meninggalkan Ayah di jalan begitu saja. Dia bukan orang jahat."

"Kamu tahu alasannya?" Langit memandang adiknya.

Mentari menggeleng. "Dia cuma mau cerita sama Mas Lang."

Langit tersenyum dingin. "Dia hanya ingin membela dirinya."

"Buat apa dia membela diri, kalau Mas Lang sudah terlanjur menganggapnya sebagai penjahat."

"Kenapa kamu membela dia?"

"Aku bukan membela, Mas. Aku cuma mau tenang. Tiga tahun kita menunggu jawaban siapa orang yang tega mencelakai Ayah. Dan sekarang kita sudah tahu siapa orangnya. Dan dia sudah mendapatkan apa yang selama ini menjadi doa Mas Langit. Keluarganya sudah mendapatkan penderitaan yang sama dengan yang kita rasakan. Apa menurut Mas itu belum cukup? Apa Mas Langit mau Kak Malia ikut mati juga biar puas? Kalau begitu kenapa waktu Kak Malia mau bunuh diri Mas selamatkan dia?"

Langit menatap mata Mentari yang kini sudah berkaca-kaca. Dihampirinya adiknya, lalu ia memeluknya. "Mas masih perlu waktu," bisiknya.

...

Langit menatap nasi goreng buatan Mentari yang dibawanya dari rumah. Aneh sekali rasanya. Ia merasa kesepian. Sudah hampir dua minggu ia sarapan sendirian. Biasanya Malia selalu menemaninya di sini. Atau paling tidak mengingatkannya. Langit menatap layar ponselnya. Bahkan Sandra pun terlalu sibuk untuk membalas pesannya. Padahal ia hanya ingin tahu kabarnya pagi ini. Langit menyapu pandangannya ke sekelilingnya. Entah kenapa teras ini pun terasa tak seindah dulu lagi.

Langit nenyuapkan makanannya. Dilihatnya Danar yang masih merapikan meja konter sambil bersenandung mengikuti suara musik yang keluar dari pengeras suara di cafe. Mas Bima akan datang telat hari ini. Langit menghela nafasnya. Mas Bima pun sekarang jadi berubah. Sekarang ia sering sekali datang terlambat. Dan sudah jarang membeli makanan. Sekarang Mas Bima sering membawa bekal sarapan dan makan siangnya dari rumah. Ia juga sudah jarang mengobrol lagi dengannya. Saat ada waktu luang ia selalu saja terlihat menelepon seseorang. Bahkan sekarang ia lebih banyak tertawa. Cinta benar - benar telah merubahnya.

Mengapa sepertinya semua orang hidupnya menyenangkan, kecuali dirinya? Langit menyuapkan kembali nasi goreng ke dalam mulutnya saat tiba - tiba sudut matanya menangkap sesosok bayangan masuk ke dalam cafe. Langit memberanikan diri untuk menoleh. Hatinya mendadak berdegup kencang ketika pandangannya kemudian bertemu dengan matanya. Dengan cepat dialihkannya kembali pandangannya. Tapi mata Malia masih mengamatinya dari jauh. Jantung Langit semakin berdegup kencang. Ia berdoa agar Malia tak menghampirinya.

Dan doanya terkabul. Malia segera beranjak pergi setelah menerima pesanan kopinya. Sepintas Langit memandang punggungnya yang menghilang dari balik pintu. Sepertinya ia kembali bekerja lagi. Langit mengusap wajah dengan kedua tangannya. Aneh, mengapa sekarang ia jadi canggung?

Sebuah panggilan masuk di ponsel akhirnya menyelamatkan Langit. Sandra meneleponnya untuk meminta maaf karena tak sempat membalas pesannya sejak pagi. Ia pun membuka kamera video untuk memperlihatkan dirinya yang tengah berada di sebuah proyek gedung pencakar langit. Tapi hanya lima menit saja karena ia harus kembali bekerja.

Kini Langit kembali merasa kesepian. Dipandanginya kembali cafe yang masih sepi. Sebelum Malia masuk dalam hidupnya, ia mengalami ini hampir setiap hari. Di cafe sendirian. Dan hidupnya baik - baik saja. Tapi mengapa sekarang terasa berat? Langit menghembuskan nafasnya yang terasa berat, lalu membungkus makanannya kembali. Ia harus mengalihkan perhatiannya. Ia tidak bisa duduk sendirian di sini meratapi kesepiannya. Ia akan ke kantin untuk mencari suasana baru. Mungkin keramaian bisa sedikit mengusir rasa sepinya.

Semua mata memandang Langit saat ia tiba - tiba masuk ke dalam kantin yang tak terlalu ramai. Langit tersenyum pada beberapa orang yang menyapanya dengan ramah. Sejak ia putus dari Malia, orang - orang mulai berani menyapa dan menegurnya kembali. Satu - satu nya hal yang ia syukuri saat ini. Disapunya pandangan ke sekelilingnya untuk mencari meja kosong. Tapi tak ada satu pun meja yang benar - benar kosong. Tapi tiba-tiba saja Langit tersadar, ia sudah tak harus lagi mencari meja yang benar - benar kosong. Ia tak harus duduk sendirian lagi.

"Boleh ikut duduk di sini?" Sapa Langit pada tiga orang perempuan yang mejanya masih menyisakan satu kursi kosong.

"Oh, boleh, dong Mas Langit." Sahut mereka hampir berbarengan. Ketiganya lalu memandang Langit dengan senyum malu - malu.

"Gak pa-pa, kan?" Tanya Langit ragu.

"Gak pa-pa, Mas. Sekarang kan, Mas Langit udah jomblo lagi. Jadi gak akan ada yang dipecat," ujar seorang diantara mereka dengan lugasnya. Yang disambut tawa kedua temannya.

Langit menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Kalian semua kerja di Bagja Company?"

Ketiganya mengangguk. "Kenalin Mas, aku Reina, dua orang temanku ini May dan Sekar."

Langit menyalami ketiganya. Mereka masih sangat muda, seperti baru lulus kuliah. Sepertinya teman - temannya Eva, batin Langit.

"Sekarang Mbak Malia udah gak segalak dulu, Mas. Dia lebih banyak diam."

"O ya?" Langit kini meneguk es jeruknya yang baru datang.

Ketiganya menjawab Langit dengan anggukan.

"Mas Langit kenapa sekarang jadi barista lagi?"

"Lebih enak aja."

"Biar sering - sering ketemu kita lagi, ya Mas?"

Langit tersenyum sambil mengangguk. Ketiganya pun tertawa senang.

"Mas, kita foto bareng, ya?" Reina mengeluarkan ponselnya.

Langit kembali mengangguk. Sesaat kemudian mereka pun sibuk mengambil fotonya.

"Kita mau buat Mbak Malia cemburu," Ujar Sekar seraya tergelak.

Ketiganya lalu tertawa berbarengan. Langit menggeleng - gelengkan kepalanya sambil ternyum. Sejenak ia bisa melupakan kesepiannya. Mendengarkan celotehan ketiga gadis itu membuatnya kembali bisa tertawa.

"Mas Langit, nanti makan siangnya bareng sama kita lagi, ya? Sekarang kita harus balik. Udah jam masuk kantor." Reina melirik jam di ponselnya. Lalu dengan terburu - buru ia dan kedua temannya itu pun pamit lalu beranjak bangun.

Langit mengangguk dan mengibaskan tangannya. "Sampai nanti siang!" Serunya.

Sebuah panggilan telepon terdengar dari ponselnya. Dari Danar. Ternyata cafe sudah mulai ramai. Langit pun bergegas pergi meninggalkan kantin.





Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang