Suara lantang Adeeva berhasil membangunkan dua manusia yang tengah beristirahat di ruang tamu tersebut. Yang pertama menunjukkan ekspresinya adalah Aldebran. Pria itu langsung terbangun dan melepas Morana dari pelukannya. Matanya membulat sempurna mendapati kembarannya berdiri di sana dengan mata menyalang dan berkaca-kaca.
"Jadi temen-temen Dee bilang waktu kuliah bener?! Kak Ale sama Kak Moya?!" desis Adeeva sembari mendekat ke arah kakak-kakaknya itu.
Morana sudah terbangun sempurna. Matanya yang sembab pun menatap adiknya dengan sayu. Ia membiarkan Aldebran bangun dan menghampiri Adeeva. Memang bukan hal yang aneh jika seorang adik dan kakak berpelukan tetapi mengingat bagaimana posisi Aldebran dan Morana membuat Adeeva bergidik ngeri. Ia tidak akan mungkin berada di posisi tersebut dengan Aldebran, tidak dengan usianya yang sudah berkepala 2 itu.
"Dee." panggil Aldebran sembari menghampiri kembarannya.
Adeeva menggeleng. "What the hell is this, Aldebran? So, they were right? You and her are a thing?"
Wajah Adeeva berubah pias saat Aldebran diam saja dan Morana yang tertunduk. Ia menatap kembarannya dengan tidak percaya. Adeeva dulu mati-matian membantah ucapan teman-temannya yang memang mengenal Aldebran dan Morana karena tuduhan mereka tidak masuk akal. Aldebran menyayangi Morana sebagaimana Aldebran menyayangi Adeeva. Tetapi ternyata selama ini Adeeva salah?
"Gimana bisa?! Kalian kakak beradik!"
Aldebran menghembuskan napasnya. Retinanya kemudian bersirobok dengan Arabela yang menatapnya dalam diam. Tidak ada amarah, namun mata Arabela yang berkaca-kaca mampu membuat Aldebran tertegun. Aldebran tahu ia sudah melakukan kesalahan dan kini ada dua wanita yang berhak mendapatkan penjelasan darinya.
"Dee, biar kakak jelaskan." bukan Aldebran melainkan Morana yang kini menghampiri Adeeva.
"Pantes kak Moya selalu pengen sama Ale. Aku kira karena kalian emang dekat bahkan melebihi aku yang notabennya kembaran Ale. Tapi ternyata?" Adeeva terkekeh sinis. "Udah sejauh mana hubungan kalian? Apa kalian nggak malu sama Bunda dan Ayah?!"
"Bunda tahu." jawab Morana.
Adeeva mendengus, kilatan amarah di matanya kian berkobar. "Oh good! Jadi itu alasan Ale pergi dari rumah? Karena kamu?!"
Aldebran kemudian memegang bahu Adeeva dan memaksa kembarannya itu untuk menatapnya. "Aku yang jelasin." ujar Aldebran pada Adeeva.
Adeeva beralih menatap nyalang Aldebran dan dengan kasar menyentak tangan kembarannya itu dari bahunya. "Bisa ya kalian kayak gini dan bersikap seolah baik-baik aja di depan keluarga?! Gimana kalau Dad tahu?"
Aldebran menelan salivanya susah payah. Kemudian ia menuntun Adeeva dan membawanya ke balkon yang berada tidak jauh dari ruang tamu. Sebelum ia menarik tangan Adeeva, Aldebran terlebih dulu menatap Arabela yang masih diam seperti tadi.
Melihat Aldebran yang menatapnya, Arabela menghembuskan napas. Ia berusaha sekeras mungkin menahan air matanya yang hendak meluncur dengan bebas itu. Sebelum pertahanannya hancur, Arabela mengalihkan pandangannya pada Adeeva. "Aku pulang aja, Dee." ujarnya pada Adeeva dengan suara yang tanpa bisa ia cegah bergetar.
Adeeva kemudian menatap Arabela dengan iba. Adeeva tahu sedaritadi Arabela terus mengecek ponselnya untuk mengetahui kabar Aldebran. Namun kembaran brengseknya itu malah berada di sini bersama dengan Morana dan entah telah melakukan apa. Seharusnya jika Adeeva tahu kejadiannya seperti ini, ia tidak akan membela kembarannya itu dengan membuat Arabela tenang dan tidak berpikir macam-macam.
"Tunggu sebentar, oke? We need to talk." ucap Aldebran pada Arabela.
Arabela hendak menolaknya karena sungguh matanya terasa panas saat ini. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana dadanya yang bergerumuh dan matanya yang siap untuk didera air mata. Tetapi karena tatapan memohon Aldebran membuat Arabela mengangguk. Setelahnya Aldebran membawa Adeeva ke balkon dan meninggalkan Arabela yang tengah menggigit bibir dalamnya berusaha tidak menangis.
Mata Arabela menatap Morana yang tengah terisak. Kemudian Arabela beranjak menuju dapur Morana dan mengambil segelar air. Setelah mencoba mengontrol dirinya, Arabela pun menghampiri Morana dengan segelas air di tangannya. Tangan Arabela yang kosong mengusap bahu Morana membuat wanita itu mendongak.
"You run out of breath. Minum dulu." ujar Arabela lalu duduk di sebelah Morana.
Morana mengangguk, sebisa mungkin ia menghentikan isakannya. Setelahnya Morana meminum airnya, meneguknya hingga habis. "Thanks."
Arabela memaksakan senyum tipisnya. Melihat Morana yang tampak berantakan ini semakin membuat perasaan Arabela bergemuruh. Kenyataan bahwa Aldebran memilih untuk bertemu dan menjelaskan langsung pada Morana terlebih dahulu seakan menyadarkan Arabela bahwa ia tidak penting di mata pria itu. Bahkan pria itu tidak mengabari bahwa ia sudah pulang ke NY.
Arabela terkekeh sinis dalam hati. Bukankah secara tidak langsung perlakuan Aldebran kali ini menyatakan dengan jelas posisi Arabela di hidup Aldebran? Bisa-bisanya Arabela mengharapkan penjelasan dari Aldebran tentang berita tersebut disaat Morana yang lebih membutuhkannya?
Tanpa bisa Arabela cegah, setetes air mata lolos dari pelupuknya. Arabela merasakan hatinya seakan tercubit dengan kenyataan yang menghantamnya. Arabela mendongak, kemudian menggeleng. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Sesak di dadanya semakin membuat Arabela mengencangkan gigitannya pada bibirnya menahan agar isakkan tidak lolos dari bibirnya.
"Mora, aku izin ke toilet." ujar Arabela dengan suara bergetar. Tanpa menunggu balasan Morana, Arabela beranjak menuju toilet yang berada di dekat pintu masuk. Ia berlari kecil dan setelah pintunya tertutup, Arabela membiarkan dirinya menangis.
Rasanya sesakit itu. Arabela merasa dikhianati oleh Aldebran dua kali dalam sehari. Diana setelah itu Morana. Belum selesai permasalahannya dengan Diana kini Aldebran kembali menyemburkan bensin ke amarah Arabela. Tolong beritahu Arabela bahwa kali ini ia berhak marah pada pria itu.
Dada Arabela terasa sesak. Entah karena perlakuan Aldebran atau karena fakta bahwa Arabela tidak penting bagi Aldebran. Kemudian setelah emosinya berhasil ia kuasai, Arabela menatap dirinya di pantulan cermin. Matanya merah dan wajahnya sedikit sembab. Arabela kemudian mengusap matanya dengan air berharap bekas tangisannya tidak terlihat. Ia kemudian memoleskan sedikit bedak pada wajahnya agar tidak terlihat habis menangis.
Saat Arabela membuka pintu kamar mandi, Aldebran berdiri di sana dengan wajah kusutnya. Saat matanya bersirobok dengan mata Aldebran, Arabela bisa melihat tatapan menyesal pria itu.
Arabela menghembuskan napas, lalu ia menyunggingkan senyum tipis. "Udah selesai?" tanyanya.
"Ara." panggil Aldebran dengan lirih.
Sial. Arabela menahan mati-matian agar air matanya tidak luruh. "Dee mana? Aku anter dia pulang."
"Dee pulang sama Damian. Kamu sama aku." ucap Aldebran membuat Arabela menggeleng.
"Please." mohon Aldebran dengan wajah frustasinya. Arabela menghembuskan napas lalu mengangguk. Ia membiarkan Aldebran mengenggam tangannya lalu menariknya dengan lembut keluar dari Apartemen Morana.
Tidak ada yang mengeluarkan suara selama perjalanan menuju parkiran. Arabela terdiam, tidak sedikitpun berniat membuka suaranya. Sedangkan Aldebran yang terus mengenggam tangan Arabela juga terdiam. Pikirannya berkutat tentang bagaimana ia harus menjelaskan situasi tersebut. Aldebran tau ia salah karena memilih mengunjungi Morana terlebih dahulu sebelum ke Arabela. Tetapi ia tidak sadar jika saat itu ia menyuruh Damian untuk membawanya ke Morana.
Aldebran tau Arabela habis menangis di kamar mandi tadi. Makanya ia menunggu Arabela agar wanita itu tidak menghindar. Menurut Aldebran ia harus segera menjelaskan agar masalahnya tidak bertele-tele. Perihal Diana dan juga Morana. Katakan Aldebran brengsek sekarang karena ia sudah menyakiti Arabela selama dua kali di hari yang sama.
Dan Aldebran sudah membuat tiga wanita menangis di waktu yang bersamaan. Brengsek sekali, bukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
INTO YOU [ON GOING]
Romance[SEQUEL DARI SECOND WIFE] ALDEBRAN & ARABELA ____________________________________________________________________ "Kamu pernah bilang, "I'm so into you.". Tapi satu hal yang lupa kamu jelaskan, kata "You" di kalimat kamu itu mengarah pada siapa? Aku...