Bab 1 : Pilihlah yang Terbaik.

83 11 27
                                    


Seorang remaja laki-laki berbalut pakaian hari Senin SMA lengkap sedang duduk di kursi teras rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seorang remaja laki-laki berbalut pakaian hari Senin SMA lengkap sedang duduk di kursi teras rumahnya. Ia menghirup udara pagi yang menyejukkan, sesaat kemudian tersenyum kecil sembari melihat bunga mawar merah di atas meja bundar tepat di samping kanannya.

Hari ini adalah hari pertama di tahun pelajaran, termasuk untuk remaja itu, Abyan. Setelah melewati proses panjang dan melelahkan untuk dapat menjadi murid resmi di SMA 5 Yadair, kini ia dan kedua orang tuanya lega saat menerima info siswa yang berhasil diterima beberapa hari lalu.

Juni keluar dari dalam rumah. Tangannya menggenggam secangkir gelas berisi air dan sebuah kapsul berwarna putih. Ia memberikannya pada Abyan.

Abyan menerima dengan senang hati obat itu. Segera ia meminumnya, kemudian meletakkan gelas di atas meja. Bersamaan dengan itu, sang ibu ikut duduk. Tangannya bergerak menyurai rambut Abyan yang sedikit berantakan. "Aby udah cek barang-barang?"

Perkenalkan, ia adalah Abyan Geyadha. Berumur 15 tahun, memiliki masa kelam lima tahun lalu yang membuatnya tak seceria kala itu. Panggilan 'Byan' sudah tak lagi disematkan untuknya karena remaja itu meminta dipanggil 'Aby'. Dan semuanya berubah sejak kejadian itu terjadi.

Ada Abyan yang cerianya tak lagi sama. Ada Juni yang sudah merubah sifatnya setelah penyesalan datang. Dan ada Nadif yang berpakaian kantor, ia baru saja memarkirkan mobilnya setelah membeli bensin sepagi ini.

"Gak ngantri, yah?" tanya Juni sambil tersenyum melihat wajah tampan sang suami. Nadif menggeleng. "Alhamdulillahnya enggak, bun. Malah baru mulai rame pas ayah udah selesai isi, langsung bejibun!" heboh Nadif.

"Ayah nanti jemput, 'kan?" Abyan membuka suara.

"Jelas, dong! Nanti kalo udah pulang, telepon. Oke?" Abyan mengangguk kemudian ia mengambil gelas dan meminum airnya kembali.

Nadif menghela napas. Terkadang ia rindu senyuman dan keceriaan sang anak yang dulu. Senyuman yang berhasil membuat lelah dirinya hilang. Keceriaan yang membuat kehangatan di hatinya. Selama lima tahun ini, saat sang anak tersenyum, rasanya seperti mendapat harta karun emas puluhan ton bagi Nadif.

Abyan beranjak dari kursinya. Ia menggendong tas kemudian menyalimi tangan Juni. "Aby berangkat, bunda."

Juni tersenyum. Ia mengecup kening Abyan bersamaan saat sang anak menyalimi tangannya. "Hati-hati, ya, sayang. Jangan lupa inget kata DOKTER ASTRID."

Abyan mengangguk. Ia berlenggang bersama Juni menghampiri Nadif. Saat sampai di tempat Nadif berada, Abyan memasuki mobil, meninggalkan Juni yang kini menyalami tangan Nadif. Melihat kedua orang tuanya membuat Abyan tanpa sadar merekah senyumnya sesaat. Ia bersyukur memiliki orang tua yang menyayanginya, karena ia paham bahwa tak semua anak memiliki keberuntungan dalam hal ini.

"Ayah berangkat, ya! Kalo bunda di dapur atau mau tidur, pintu jangan lupa kunci, takut ada yang masuk," kata Nadif sambil mencium kening sang istri.

"Hati-hati, ayah, Aby!" Juni melambaikan tangan saat mobil hitam itu mulai melesat menembus jalanan depan rumah. Ia menghela napas, setelahnya ia merekah senyum.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang