Bab 22 : Are You?

6 4 0
                                    

Ada alasan dibalik mengapa remaja itu meminta Abyan menjadi sahabatnya. Ada lebih dari sekadar alasan, “Ingin dekat denganmu."

Alasan pertamanya, sejak awal ia merasa Abyan itu unik. Membuatnya tertarik mengetahui lebih dalam tentang Abyan, yang kini sudah resmi menjadi sahabatnya sejak tadi pagi.

Alasan kedua, Abyan mirip dengan sahabatnya yang sudah lama meninggal. Dulu Tama punya seorang sahabat, Galang namanya. Namun, Galang mengalami kecelakaan kala itu yang membuat nyawanya terenggut. Selain Abyan, Tama juga punya luka masa lalu.

Dan alasan terakhir, permintaan dari Bunda Abyan sendiri. Tama baru saja menjadikan permintaan Juni sebagai alasan ketiga karena dirinya baru melihat pesan yang dikirim Juni akibat Tama sudah memodifikasi aplikasi pesan miliknya untuk menenggelamkan otomatis pesan dari nomor tidak dikenal. Bayangkan, Juni rela meminta Tama dan membayarnya hanya agar Tama mau menjadi sahabat dan menjaga Abyan kala di sekolah.

Bagi Tama, sebenarnya aneh membaca pesan-pesan dan permintaan dari Juni. Namun, di sisi lain sepertinya memang hubungan Abyan dan Juni sangat dekat. Wajar bagi seorang ibu melakukan apa saja agar anaknya tidak terluka sedikitpun, TAPI TETAP SAJA PERMINTAAN JUNI MEMBUAT TAMA BERPIKIR KERAS MALAM INI! Ada apa dengan Abyan sampai-sampai Juni memintanya dengan sangat-sangat memohon? Mengapa Juni sangat protektif pada Abyan?

“Pa, Mama dulu protektif banget gak sama Tama pas masih kecil?” tanya Tama, di meja makan.

Timo menggeleng.

“Justru Mama bebasin kamu buat ngapain aja, Tam. Saking dibebasin banget, kamu malah masukin air ke knalpot motor punya bude.”

Tama mengangkat kedua bahunya. Jujur saja ia bahkan tidak ingat sama sekali tentang kejadian itu.

“Tumben nanya gitu, kenapa?”

“Kalo ada orang tua dari A minta tolong ke temen A, sebut aja B, biar mau jagain A pas di sekolah dan mau bayar B yang penting A selalu dijagain B, aneh apa enggak?”

Timo berusaha mencerna tiap kata yang diucapkan sang anak. “Orang tua A minta tolong temen A, si B, buat jagain A pas di sekolah dan dikasih imbalan berupa uang atau bayaran gitu pokoknya, ya?”

Tama mengangguk. “Kurang lebih gitu.”

“Ya … gak aneh, sih. Wajar namanya orang tua pasti khawatir sama anaknya. Apalagi kalo udah masa-masa SMA gini, kan biasanya lagi pada bandel-bandelnya anak seumuran kamu itu,” tutur Timo.

Tama melipat dahi. “Kok ….”

“Kamu disuruh jagain temen kamu sama orang tuanya temen kamu, ‘kan?” tebak Timo.

“Tau dari mana?” Tama memasang wajah kaget.

Timo tersenyum misterius. Ia mendekatkan wajahnya di telinga sang anak. “Karena orang tua yang minta tolong ke kamu itu temennya papa pas SMP.”

“MAKSUDNYA?” Tama memekik, ia beranjak dari kursinya. Kini berdiri, raut wajahnya sudah tidak terkondisi.

“Yang minta tolong namanya Juni, ‘kan?”

Tama berdehem.

“Nah Juni itu istrinya dari temen papa pas SMP. Kata Om Nadif, kamu juga udah kenalan sama dia pas Om Nadif nganter anaknya ke sekolah. Eh, nama anaknya siapa, deh, Tam? Papa lupa.”

Timo memangku wajah.

“Abyan,” jawab Tama.

“Nah, iya itu!” Timo menjetikkan jari.

“Papa sekantor sama Om Nadif?”

Timo menggeleng.

“Kok papa punya nomor Om Nadif?”

Timo menghela napas. “Papa emang selalu berhubungan baik sama orang, Tam. Makanya kamu kayak papa juga, biar kalo ada perlu apa-apa jadi gampang.”

Tama kembali mendudukan dirinya. “Kenapa hari ini rasanya campur-campur ya perasaan Tama?” gumamnya.

“Ngerasain apa emang?”

“Seneng, aneh, kaget, capek.”

“Kenapa bisa gitu?”

“Seneng karena … Abyan itu jadi sahabat Tama. Terus aneh karena Tante Juni minta Tama jagain anaknya, bahkan mau bayar Tama berapapun yang penting anaknya dijagain. Kaget ya karena ini, nih! Terus capek karena harus ngapalin Gerakan silat buat besok di ekskul.”

Timo mengangguk. “Sabar, ya. Semoga hidup kamu dilancarkan terus.”

Tama pikir ia akan mendapatkan kalimat penenang, atau setidaknya semangat dari sang papa. Papanya memang tidak bisa diharapkan dalam hal menyemangati.

“Apa? Mau semangat? Percuma papa semangatin kalo kamunya emang gak mau semangat, ya sama aja!”

Tama membelalakkan mata. “Papa sekarang bisa baca pikiran orang, ya?”

“Papa dulunya dukun,” terang Timo, wajah seriusnya membuat Tama setengah percaya dengan ucapannya. “Tapi boong!”

Tama memutar malas bola matanya.

“Eh, kamu kan sama Abyan sahabatan, tuh. Berarti kamu terima yang diminta sama Tante Juni atau emang mau sahabatan sama Abyan tanpa disuruh?”

Tama menghela napas. “Emang mau. Soalnya … mirip kayak Galang.”

“Apanya?” tanya Timo, melipat dahi.

“Semuanya. Dia pendiam tapi gemesin, lucu, kayak anak kuc—”

“Kamu gay, Tam?”

Tama berdecak. Rasanya seperti dejavu.

“Tama … gay?”

Pertanyaan dari Abyan kemarin masih teringat jelas dalam ingatannya. Mendengar pertanyaan itu, Tama segera menggeleng.

“Emang gak boleh bilang orang lain lucu?” tanya Tama pada sang papa.

“Ya … aneh aja,” jawab Timo.

“Kenapa kalo cewe bilang cewe lain cantik itu gapapa, sedangkan cowo bilang cowo lain ganteng, lucu, atau apalah itu malah dikira gay? Coba jelasin,” pinta Tama.

“Papa gak tau. Ya emang karena umumnya gitu, ‘kan? Cowo yang bilang ganteng ke cowo lain kebanyakan gay. Papa gak masalah kamu mau bilang Abyan lucu atau gimana, cuma tadi kaget aja. Dan papa harap kamu emang bukan gay.”

“Yang gay kayaknya papa, deh. Papa kan sering muji Tama ganteng,” cibir Tama, tersenyum miring. Sementara Timo memasang wajah malas.

“Mau papa ngira Tama gay atau enggak, Tama tetep bakal jadi sahabat Abyan dan selalu jagain dia. Karena emang dari awal Tama pengin lebih deket sama dia.”

Tama melenggang pergi menuju tangga, pintu kamarnya dibanting pelan, walau pelan tetap saja terdengar kencang karena ini sudah malam hari. Di bawah Timo menghela napas, menggeleng pelan. “Padahal udah dibilang gak masalah, tapi tetep aja orangnya ngambek.”

“Tam! Papa kan bilang gak masalah!” pekik Timo menghadap tangga.

║▌│█║▌│ █║▌│█│║▌║

Bersambung.
Jangan lupa vote, komen, dan follow!

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang