Bab 20 : You Are My Bestfriend.

21 5 2
                                    

"Karena gue pengin sahabatan sama lo."

"Selain itu?"

"Karena gue pengin lebih deket sama lo."

"Tama ... gay?"

Tidak bisa dipungkiri, pikiran Abyan masih terus berputar-putar di kantin siang tadi. Walau Tama menyanggah pertanyaan terakhir dari dirinya, tetap saja Abyan tidak dapat mempercayainya. Namun, Abyan ingin memiliki sahabat. Abyan sangat menginginkannya.

Ditengah kekalutannya, Juni mengetuk pintu kamar, kemudian mengintip. Abyan yang sedang bersandar di atas kasur langsung beranjak mendekati sang ibunda.

"Sayang, makan, yuk!" ajak Juni.

Abyan mengangguk, meninggalkan kamar dan ponsel yang baru saja layarnya hidup karena notifikasi pesan dari Tama.

Di meja makan, Nadif tersenyum begitu melihat anak dan istrinya. Tangannya melambai.

"Ayo, sini!" ucapnya antusias.

Menu malam ini adalah kerang bambu saus padang yang dibeli Nadif sepulang kerja. Aromanya menggunggah selera, perut Abyan langsung bergemuruh lapar. Ia menelan ludah saat duduk di kursi dengan terus menatap kerrang bambu itu.

Juni menyendokkan nasi untuk Abyan dan Nadif, kemudian Nadif menyendokkan nasi untuk dirinya. Ketiganya mulai makan dengan lahap. Abyan berdehem enak saat lidahnya merasakan kelembutan daging kerang dan pedasnya saus padang, ditambah lagi dengan asamnya perasan lemon di atas daging kerang. Nikmat tiada tara untuk malam ini. Bahkan sepiring nasi saja tidak cukup bagi Nadif.

"Bun, nambah, dong!" pintanya, menyodorkan piring pada Juni.

"Aby mau nambah juga?" tanya Juni setelah menyendokkan nasi pada Nadif.

Abyan menggeleng. Perutnya hanya bisa menampung sepiring nasi dengan kerang saja. Lagipula makan yang terlalu banyak itu tidak baik, kecuali kalau dirinya sedang kelaparan.

"Bunda aja yang nambah," jawab Abyan.

"Enggak, ah. Kenyang bunda," ucap Juni, mengambil satu kerang dan memakannya. "Mau gado kerang aja, bunda, mah."

Abyan terkekeh, senyum manisnya merekah saat melihat saus padang yang lumer dari kerang mengenai bibir bawah sang ibunda.

"Aby." Nadif memanggil, ia menyodorkan kerang pada Abyan.

Abyan membuka mulutnya. Ia melihat wajah Nadif yang menatapnya lamat-lamat.

"Besok ayah beliin kerang lagi, mau?" tanya Nadif.

Abyan menengok pada Juni yang kini tengah mengelap bibirnya dengan tisu. Ia meminta pendapat pada sang ibunda.

"Aby mau lagi?" tanya Juni, langsung diangguki dengan senang hati oleh Abyan.

"Mau kerang bambu lagi atau kerang yang lain?"

"Bambu aja," jawab Abyan seraya menatap Nadif.

"Sausnya? Saus padang, tiram, atau apa?"

"Saus padang lagi aja, enak," ucap Abyan, antusias.

"Yey, besok kita mukbang kerang lagi!" timpal Juni, tak kalah antusias. Abyan bertepuk tangan. Sejenak ia dapat melupakan pemikirannya tentang Tama.

Malam ini dilanjut dengan ketiganya menonton film horor di televisi. Abyan berada di antara kedua orang tuanya, mengumpatkan wajah di balik bantal sofa saat layar menampakkan setan dalam film itu.

"Mau diganti film-nya?" tanya Juni.

"Gak mau," cicit Abyan, si penakut yang selalu ingin menonton film horor.

Di layar, pemeran utama tampak berjalan di lorong rumah sakit yang ramai orang lalu-lalang. Namun, tiba-tiba semua lampunya padam, lalu sesaat kemudian kembali hidup dengan menghilangnya semua orang di sekitarnya. Abyan berteriak, kembali meletakkan bantal tepat di depan wajahnya saat setan sialan itu muncul di atas kepala pemeran utama.

Nadif melirik, terkikik geli melihat anaknya yang ketakutan. Ide jahilnya muncul, ia mencolek leher Abyan bagian belakang yang sontak membuat Abyan beranjak dari duduknya lalu berbalik. Sesaat sebelum Abyan berbalik, Nadif sudah lebih dahulu meletakkan tangannya di paha agar tidak ketahuan oleh anaknya.

"Gantengnya ayah kenapa?" tanya Nadif.

Abyan terdiam, mengamati sekelilingnya.

"Aby, kenapa?" Sekarang Juni yang bertanya.

"Ayah colek Aby, ya?" tanya Abyan dengan raut wajah takut. Nadif menggeleng.

"Bunda colek Aby?" Juni menggeleng juga.

"Aby kenapa?" Nadif masih berpura-pura.

Abyan mengedarkan pandangan, raut wajahnya sudah tidak karuan. "Ada yang colek Aby."

Tepat setelah Abyan berucap, Nadif langsung tertawa terbahak-bahak, tidak kuat menahan tingkah lucu sang anak.

"Ayah!" Abyan berseru, melemparkan bantal pada wajah Nadif. Ia berjalan menuju Nadif, lalu memegang wajah sang ayah dan menggoyang-goyangkannya. "Sebel sama ayah!"

Akibat ulah Nadif, Abyan tidak ingin tidur sendiri di kamar miliknya. Ia memutuskan untuk tidur bersama kedua orang tuanya. Di atas kasur, ketiga orang itu berkumpul. Abyan memeluk Juni, membelakangi Nadif.

"Sini peluk ayah, dong!" kata Nadif, mencolek kembali leher belakang Abyan.

Abyan menggeleng. "Gak mau!"

"Ayo dong, anak ganteng, sayangnya ayah," pinta Nadif.

Abyan menengok, memasang wajah kesal. "Aby ngambek sama ayah!"

Nadif terkekeh.

Malam semakin larut. Nadif dan Abyan sudah tertidur lelap berpelukan. Sedangkan Juni, ia tengah menatap layar ponsel sembari duduk di atas kasur. Mengirim pesan kembali pada Tama. Padahal pesan yang kemarin saja belum dilihat dan belum dijawab oleh remaja itu.

 Padahal pesan yang kemarin saja belum dilihat dan belum dijawab oleh remaja itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juni menutup ponsel, meletakkannya di atas meja tempatnya menulis buku harian. Ia menghela napas seraya beranjak dari kasur ke luar kamar. Langkahnya menuju pintu rumah, terduduk di kursi menatap jalanan yang beberapa kali masih terdapat orang berlalu-lalang. Langit cerah berhias bintang, semilir angin malam menerpa kulitnya. Yang kupinta hanya seorang sahabat untuknya, Tuhan. Apakah berlebihan?

= = = = =
Bersambung.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang