(Warning! Ada dialog kasar. Harap bijak.)
Rutinitas harian yang akan berkelanjutan dimulai. Pagi-pagi, Abyan dan Nadif pergi berangkat menuju kesibukannya masing-masing. Seperti biasa, Juni menatap lamat-lamat mobil yang kini melesat menghilang dari pandangan. Ia berjalan menuju keran air yang terpasang selang, lalu mulai menyiram tanaman di halaman tanpa menutup pagar. Pagi ini berjalan lancar, banyak rasa sayang yang memenuhi perasaan keluarga kecil itu.
Setelah mengantarkan sang anak, Nadif kembali mengendarai mobil menuju kantornya. Sesampainya di sana, ia memarkirkan mobil dan bergegas masuk ke dalam bangunan kantor yang menjulang tinggi. Di pintu masuk ia disapa oleh satpam yang berjaga. Di dalam, saat berjalan menuju ruangannya, ia juga mendapat banyak sapaan dari para pekerja kantor yang lain. Ia berjalan tegap, pakaian kantornya menambah aura wibawa yang terpancar.
Ia berhenti tepat di depan sebuah ruangan HRD. Benar, Nadif bekerja sebagai HRD di kantornya. Ia mengurusi banyak hal, seperti relasi antara karyawan dengan yang lain, menilai pekerjaan dan asesmen para pekerja, terkadang ia juga menjadi tempat para pekerja yang kelelahan bercerita. Nadif cukup banyak dikenal oleh orang-orang di kantor.
Abyan baru saja mendudukkan dirinya di kursi kelas, Di sampingnya sudah ada Tama yang memang lebih dahulu sampai. Pada bagian area belakang, terlihat juga Ilal yang kini berjalan menghampir keduanya lalu merangsek duduk di kursi Abyan, membuat pemilik kursi mau tidak mau menggeser tubuhnya.
“Sanaan lagi, dong, By,” pinta Ilal.
“Udah sempit,” jawab Abyan.
“Lo gak bisa duduk di meja aja, Lal? Si Aby sempit itu,” timpal Tama, geram melihat kelakukan Ilal.
Retina mata Ilal dan Tama bertemu. Mereka saling menatap. Ilal menyipitkan kedua matanya.
“Nyuruh?” tanya Ilal.
“Iya. Gue nyuruh. Kenapa?” tantang Tama.
Abyan yang berada di antara keduanya merasa risih. Ia memutuskan untuk beranjak dari kursi, lalu pergi ke luar kelas meninggalkan Tama dan Ilal.
“Mau ke mana, By?” tanya Tama.
“Toilet,” jawab Abyan singkat dan padat.
“Gara-gara lo si Abyan pergi, tuh!” Tama menyalahkan Ilal. Sementara yang disalahkan malah menyebikkan bibir. Saat mendapat kesempatan, Tama langsung menyentil bibir Ilal, membuat pemilik bibir itu mengumpat.
Ismi yang baru saja datang, mendengar umpatan Ilal, membuatnya melirik dan melipat dahi.
“Kenapa, lo, Lal? Pagi-pagi udah ngomong kasar aja,” sindir Ismi.
“Nih gara-gara dia.” Ilal menyenggol siku Tama. Tidak terima, Tama menyenggol balik dengan kekuatan yang lebih, lalu segera pergi menyusul Abyan, meninggalkan Ilal dalam kemarahan.
“Woy! Sialan, Tama!”
Ismi melipat dahi, menatap Ilal dengan tatapan menjijikan.
Tama berlari kecil menghampiri Abyan yang berada beberapa meter di depannya. Dari tempatnya, Tama dapat melihat Abyan yang berbelok menuju toilet. Tama ingin menghampiri Abyan untuk memastikan bahwa Juni adalah ibu dari Abyan.
Di dalam kosong. Salah satu pintunya tertutup, menandakan adanya Abyan di sana. Akhirnya Tama memutuskan untuk bersandar di depan sambil menunggu Abyan. Yang ditunggu akhirnya keluar juga. Tama mengangkat tangan kanannya, tepat sebelum Abyan keluar dari pintu ruang toilet.
“Sorry,” ucap Tama saat melihat Abyan terkejut.
“Gue mau nanya,” sambung Tama, menurunkan tangan kanannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Teen Fiction[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...