Pukul setengah dua siang di hari Kamis yang panasnya terik, mereka berkumpul dalam sebuah aula besar dengan alas rumput. Aula tersebut berbentuk persegi panjang dengan kedua sisi panjang terpasang kaca besar, sementara kedua sisi lebar hanya terdapat dinding putih. Abyan dan Tama sudah sejak tadi menunggu pelatih yang belum juga datang. Ada puluhan anak-anak lain terdiri dari murid baru dan murid dari kelas 11 dan 12 yang juga mengikuti ekskul pencak silat tersebut.
Para kakak kelas mengenakan pakaian berbahan dasar linen dengan sebuah logo sekolah. Selain itu mereka mengenakan sabuk. Ada yang bersabuk merah, ada pula yang bersabuk hitam. Bagi Abyan, raut wajah mereka tampak mengerikan, seperti ingin menerkam dirinya saat bersitatap. Nyali Abyan rasanya menciut.
Abyan mengedarkan pandangan, menghela napas karena lama menunggu. Iris matanya bereaksi saat mendapati Bulan dan Gina berada bersama pria paruh baya yang kemarin dipanggil Gina dengan panggilan Pak Jali. Ketiganya memakai pakaian hitam juga. Jali bersabuk kuning, sementara Gina dan Bulan bersabuk hitam.
“By, liat, deh. Itu Kak Gina sama Bulan jalan sama siapa, dah?” Tama menyenggol Abyan.
Abyan mendengus sebal. “Aby udah liat daritadi.”
Tiba-tiba saja Abyan merasakan pipinya menghangat. Ia dapat merasakan darah dalam tubuhnya mengalir dengan cepat. Jantungnya berdetak kencang dua kali lipat. Segera dirinya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Perlahan jari-jarinya sedikit merenggang, ia dapat melihat Bulan yang sedang tersenyum pada Jali. Pipi Abyan rasanya semakin menghangat. Sedetik kemudian kepala Tama tepat berada di depan wajahnya, menghalangi pandangannya pada Bulan,
“Kenapa, By?” tanya Tama seraya mengedipkan kelopak matanya satu kali.
Yang ditanya menggeleng pelan. Rambut hitam legamnya ikut bergoyang seirama dengan gelengan kepalanya.
“Gapapa.”
“Muka lo merah,” tutur Tama, tersenyum meledek. Abyan sontak menunduk dengan tangan yang masih menempel di wajah.
“Lo … suka sama Bulan?”
“Ayo anak-anak, kumpul di tengah lapangan! Sini!” Tiba-tiba saja pria paruh baya, Jali, memekik. Tangannya melambai ke sekeliling. Para murid langsung bergerak cepat, mendudukkan diri mereka membentuk lingkaran dengan Jali yang berada di tengah. Bulan pun ikut duduk, ia berada di samping Gina. Abyan bersyukur Jali memekik, karena Jali, Abyan tidak perlu menjawab pertanyaan Tama.
Semua sudah mendudukkan diri pada posisinya masing-masing. Abyan mengulum bibir, pipinya terasa masih hangat. Ia berusaha mengatur napas, berharap semua yang janggal dapat kembali normal.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Siang semua. Mohon maaf sebelumnya saya agak ngaret, dikarenakan tadi macet di jalan. Tadi pagi udah sempet ke sekolah, tapia da urusan mendadak di luar, maklum, artis.”
Jali menyengir saat para murid menyorakinya.
“Narsis, ya,” gumam Tama.
“Baik!” Tiba-tiba saja Jali berubah menjadi tegas. “Untuk yang belum kenal, perkenalkan nama saya Anjali Rohman. Panggil saya Pak Jali,” katanya.
“Saya di sini sebagai pembina sekaligus pelatih ekskul pencak silat. Saya gak sendiri. Saya ditemani bawahan saya, ketua ekskul pencak silat.” Jali memberi kode agar Gina berdiri.
“Halo temen-temen, nama aku Gina. Pasti udah pada kenal, ‘kan? Selamat datang di ekskul pencak silat!” kata Gina percaya diri, melambaikan tangan pada sekeliling.
Jali mendekatkan wajahnya pada telinga Gina. “Pede,” cibirnya.
“Ya, baik. Terima kasih Gina, silakan duduk lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Teen Fiction[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...