Bab 18 : It's Okay to Not To Be Okay.

21 6 5
                                    

Abyan diliputi cemas saat berada dalam perjalanan pulang dengan Gina. Ia menunduk, pipi bagian kirinya tampak memar. Tadi Gina baru mengetahui apa yang terjadi dengan Abyan saat istirahat. Gina terkejut bukan main melihat Abyan berada di kelasnya dengan bercak warna ungu pada bagian pipi.

“Gapapa, Aby,” ucap Gina, menatap Abyan dari spion motor.

Abyan menatap balik.

“Takut bunda marah,” lirihnya.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Abyan. Juni terkejut setengah mati melihat anak semata wayangnya pulang dengan pipi memar. Ia segera menghampiri, bertanya apa yang terjadi sembari memeluk Abyan. Abyan dan Juni duduk di kursi ruang makan, setelahnya ia menceritakan semua yang terjadi. Sementara Gina, ia segera pamit pulang karena akan mengerjakan tugas kelompok dengan Dini.

Waktu terasa melambat bagi Abyan. Pikirannya berkecamuk menatap wajah Juni di hadapannya setelah bercerita. Abyan menunduk, kedua tangannya dimainkan. Sesaat kemudian terdengar sang ibu menghela napas.

“Yuk, diobatin dulu memarnya,” kata Juni, memegang telapak tangan, mengajaknya ke dalam kamar Abyan.

Di kamar, Abyan segera mengganti pakaian begitu Juni mengambil air hangat di dapur. Kini keduanya duduk di atas kasur.

“Aby tiduran aja, ya,” pinta Juni, senyumnya merekah.

Abyan hanya mengangguk kecil, tidak banyak bicara.

Perlahan Juni mulai mencelupkan handuk kecil ke dalam baskom berisi air hangat, ia memeras handuk itu kemudian meletakkan secara perlahan pada pipi kiri Abyan.

"Didiamin dulu aja handuknya, nanti kalau udah gak anget, bilang bunda, ya."

Abyan kembali mengangguk. Tangan Juni bergerak menyurai rambut Abyan, merapikannya.

"Aduh ... kasian pipi anak bunda jadi memar. Lain kali hati-hati, ya?"

Bibir Abyan melengkung ke bawah. Jujur saja, sejak tadi bercerita, rasanya ia ingin menangis.

Tangisan Abyan pecah. Ia beranjak duduk, meletakkan handuk dalam baskom, kemudian segera memeluk sang ibunda.

"Bunda ... jangan marah sama Aby. Maaf," sesalnya.

Juni melipat dahi, sedikit mengerucutkan bibir.

"Sayangnya bunda kenapa minta maaf? Aby gak salah apa-apa, nak." Bersamaan kata terakhir yang ia ucapkan, air matanya mulai turun tanpa disadari. Juni memeluk erat Abyan, mendekap memberi kehangatan.

Malam ini Nadif pulang lebih cepat karena pekerjaannya sebagai HRD sudah diselesaikan semuanya. Alangkah terkejutnya Nadif melihat pipi Abyan yang memar, sama terkejutnya dengan Juni tadi siang. Juni memberi kode mata, jangan perlihatkan keterkejutanmu pada Abyan.

Ketiganya makan bersama. Menu malam ini sederhana. Hanya telur mata sapi ditambah rumput laut kering varian rasa pedas. Pelipis Abyan mengeluarkan keringat, bibirnya merah seperti ibu-ibu yang memakai liptint. Juni memberikan Abyan minum air es, sungguh minuman yang menyegarkan bagi Abyan.

Tidak banyak obrolan malam ini. Hanya ada tatapan cemas dari Juni dan Nadif pada anak semata wayang mereka. Rasanya aneh. Pagi tadi Abyan masih baik-baik saja, tapi kini pipinya memar. Orang tua mana yang tidak cemas melihat anaknya terluka, bahkan walau hanya sekadar tersandung?

"Gapapa, yah. Biarin Aby bertumbuh, biarin dia merasakan sakitnya," ucap Juni pelan di atas kasur kamar mereka, berhadapan dengan Nadif.

"Gapapa, bun? Anak kita pulang-pulang kayak gitu, lho! Aby kan juga gak sekuat yang lain fisiknya," sahut Nadif.

"Ayah, Aby itu kuat. Aby cuma perlu beradaptasi di lingkungan sekolah. Emang gak mudah, tapi dengan bantuan support dari kita, Gina, temen-temen Abyan di sekolah, Aby pasti bisa. Percaya sama bunda." Juni memegang kedua tangan Nadif.

Nadif menghela napas.

"Tadi ayah ketemu temennya Aby, yang bunda ceritain waktu itu, Tama. Ternyata dia anaknya temen SMP ayah, makanya pas bunda cerita rasanya ayah kayak kenal."

"Oh, ya?" tanya Juni, berkedip tidak percaya.

Nadif mengangguk. "Dia tiba-tiba samperin ayah sama Aby di gerbang. Dia nyapa, kenalan sama ayah. Terus entah kenapa ayah bilang ke dia buat jagain Aby. Pas di mobil mau ke kantor, ayah mikir, 'Ngapain minta tolong?'"

"Tapi kayaknya ayah emang harus minta tolong sama dia buat jagain Aby di sekolah. Kalau Gina, dia kan gak sekelas sama Aby, cuma bisa jagain sebelum dan sesudah pulang aja, bukan pas di kelas dan kehidupannya di sekolah. Besok ayah bilang lagi deh ke Tama," kata Nadif.

"Gak usah, yah. Bunda udah chat Tama, kok, tadi. Belum dibales, sih."

Nadif melipat dahi. "Bunda dapet darimana nomor Tama?"

Juni menaikkan kedua alisnya, tersenyum sok misterius.

Di kamar, Abyan menatap layar ponsel menampilkan pesan dari Tama yang membuatnya melipat dahi.

Di kamar, Abyan menatap layar ponsel menampilkan pesan dari Tama yang membuatnya melipat dahi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

= = = = =
Bersambung.
Jangan lupa vote, komen, dan follow!

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang