Bab 19 : Sebuah Mimpi.

22 5 13
                                    

Ada dua anak kecil yang tengah berlarian, saling mengejar satu dan yang lain. Salah satu dari mereka adalah Tama yang kini sedang mengejar anak kecil lain. Warna-warna lingkungan sekitar tampak lebih pucat dibanding biasanya, tetapi Tama dan temannya tidak mempedulikan hal itu.

"Tama jangan kejar cepet-cepet! Aku takut!" pekik anak yang dikejar, menengok sekilas ke belakang.

"Biarin! Nanti kamu, aku gigit!" jawab Tama seolah ingin menerkam. Kedua telapak tangannya menirukan gerakan saat hewan akan mencakar.

Mendengar perkataan Tama, bocah tersebut langsung berteriak ketakutan. Berlari dengan arah yang tidak tentu, ke sana-ke mari berusaha menghindar agar tidak tersentuh Tama. Sayangnya kecepatan Tama lebih cepat dibanding dirinya, ia tersentuh, yang berarti kini ia lah yang harus mengejar Tama.

Tama segera berbalik, berlari sejauh mungkin. Sementara anak di belakangnya mendengus sebal, lalu berlari secepat mungkin menuju Tama.

"Ayo kejar aku!" pekik Tama.

"Jangan lari cepet-cepet!" Anak itu mendengus kembali, kesal tidak bisa mengejar Tama yang jaraknya lima meter di depannya.

"Aby bisa gak kejar Tama, ya?" tanya Tama, bermaksud meledek. Anak itu terdiam di tempat. Ia melipat dahi pada Tama yang kini juga berhenti.

"Aby itu siapa?" tanya anak tersebut.

Tama terbangun dari mimpinya. Ia telentang dengan mata yang terbuka, mencoba memahami apa yang terjadi.

"Galang?" gumamnya dengan telapak tangan yang meremas selimut. Sesaat kemudian ia segera beranjak dari kasurnya, mengambil ponsel, pukul empat pagi.

Tama menghela napas. Sudah lama sekali ia tidak memimpikan Galang, sahabat masa kecilnya yang sudah tiada. Udah lama gue gak mimpiin lo, Lang.

Lima belas menit sebelum berangkat sekolah, Tama dan Timo makan bersama. Hubungan keduanya mulai damai. Marah dalam hati yang tersimpan berminggu-minggu tetapi bisa diselesaikan hanya dalam satu menit, saat keduanya saling meminta maaf. Perihal hati tidak ada yang tahu bagaimana cara kerjanya.

"Pulang jam berapa nanti, Tam?"

"Kayak biasa, jam satu, pa."

Tama terdiam, ia baru sadar ia memiliki janji dengan Abyan. "Eh, jam setengah dua, deh. Ada urusan sama temen."

"Temen-temen di sana seru?"

"Seru."

"Selama sebulan setengah ini udah punya temen berapa, Tam?"

Tama membenarkan posisi duduknya. "Papa kenapa nanyanya gitu, sih? Kocak."

"Ya ... kan siapa tau kamu belum punya temen. Kamu kan di rumah kalo gak tiduran, main handphone, nonton film, jalan sendirian," sindir Timo.

Tama menyebik. "Yee! Udah banyak temen Tama mah!"

"Suruh aja nginep di sini, biar temenin kamu kalo di rumah."

"Iya, nanti, kapan-kapan."

"Atau gak, kalo nanti ada kerja kelompok, di sini aja tempatnya," tambah Timo. Sementara Tama hanya berdehem.

Tama berangkat lebih dulu dibanding Timo menggunakan motor. Tidak ada yang spesial di jalanan pagi ini. Paling-paling hanya ada udara segar dan kesunyian jalan yang membuat Tama rasanya tenang. Retina mata Tama beredar, menatap pepohonan di sisi jalan yang menjulang tinggi dengan burung yang hinggap di dahannya. Tama terkekeh, ia mengingat masa kecilnya yang pernah merengek pada Timo hanya untuk minta ditangkapkan burung di pohon dekat rumah, niatnya burung tersebut ingin Tama berikan pada Galang sebagai hadiah ulang tahun.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang