Bab 8 : Our Healing.

30 3 24
                                    

Sudah hari Sabtu. Waktu berjalan terlalu cepat bagi Abyan. Semalam ia melamun menatap luar jendela selepas makan malam, lalu dirinya terkejut saat sang ibunda masuk ke kamar Abyan dan bertanya mengapa Abyan belum tertidur.

Pagi ini Abyan bangun pukul sembilan siang. Kedua orang tuanya lebih dahulu bangun—seperti biasa selayaknya orang tua. Kebetulan Nadif libur, jadi ia membantu sang istri merapikan rumah, menyapu halaman, menyiram tanaman, dan lain sebagainya. Kecuali belanja di tukang sayur. Laki-laki mana tahu soal tawar-menawar agar penjual dan pembeli sama-sama untung, ‘kan?

Agenda hari ini hanya ada di sore hari. Sepasang suami-istri itu mengagendakan pergi berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan saat sore sampai malam nanti. Tentunya bersama Abyan, tidak hanya berdua.

Selain itu, Gina pun diajak. Gina sudah dianggap seperti keluarga bagi Juni, Nadif, dan Abyan. Gina selalu bersama-sama dengan Abyan sejak TK. Pertemuan mereka terbilang cukup unik, karena mereka bertemu dan berkenalan saat keduanya sedang membeli gulali seribuan kala itu. Semakin hari semakin mendekat, sampai banyak yang mengira mereka berdua adik-kakak. Ya memang adik kakak, sih. Namun bukan kandung.

Saat Gina mengetahui perihal Abyan yang diperkosa oleh Nanda, seseorang yang dikaguminya, Gina rasanya tidak percaya. Ia bersama SANG IBU—sekarang sudah meninggal—pergi ke rumah sakit. Sesampainya di UGD, Gina melihat dari pintu yang terbuka sedikit, di sana Abyan terbaring lemah, bibirnya membiru dengan tubuh yang tampak seolah tidak memiliki darah. Saat itu, Gina pikir ia akan kehilangan adiknya tersayang.

Beranjak dewasa, Gina mulai sibuk, tetapi ia tetap meluangkan waktu untuk menemui Abyan, seperti saat ini. Gina memarkirkan motor tepat di sebelah mobil Nadif. Ia memakai baju, celana, dan jilbab berwarna krem, dan luaran cardigan coklat—si cewek bumi.

Assalamualaikum!” Gina berada di ambang pintu yang terbuka. Kepalanya melongok ke dalam rumah, mengedarkan pandangan, lalu melipat dahi.

“Bunda? Ayah? Aby?” panggilnya, tidak berani masuk.

“Masuk aja, Gin!” Nadif memekik dari dapur.

“Ya udah, Gina masuk, ya, Yah!” ucap Gina sambil membuka sepatu putihnya, menyisakan kaus kaki yang dikenakan.

Gina berjalan menuju dapur. Tampak Nadif sedang membelakanginya dengan tangan yang mengaduk-ngaduk sesuatu.

Gina berjalan mendekat, berada di samping Nadif.

“Ngapain, Yah?” tanya Gina.

Nadif menengok, menyodorkan tangan kanannya. Segera Gina menyalaminya.

“Bikin ice tea with two slices of lemon,” jawab Nadif sambil meminum teh tersebut. Nadif berdehem.

“Enak! Mau dibuatin, Gin?” lanjutnya.

Gina menggeleng. “Ayah sok banget pake Bahasa Inggris,” sindir Gina.

Nadif menaikkan kedua alisnya.

English is my second language. As a director-“

“Oh … sombong?” potong Gina, menatap malas.

“Sombong dari mana? Ayah juga masih belajar, ini lagi diaplikasikan dalam hidup supaya lancar,” sangkal Nadif, kembali meminum teh.

“Belajar …,” gumam Gina, mengangguk-anggukan kepala. “Tapi niatnya lebih ke-menyombongkan diri, sih.”

Hubungan Gina dan Nadif ibaratnya seperti seorang anak perempuan dengan ayahnya. Kadang akur, kadang tidak. Gina bersyukur bisa berada dalam keluarga kecil ini. Baginya, memiliki seorang ayah, ibu, dan seorang adik merupakan sebuah hal yang amat istimewa dalam hidupnya. Walau lagi-lagi bukan keluarga kandung, tetapi Gina tetap menyayangi sepenuh hati.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang