Di hari terakhir sekolah minggu ini, Jumat, kelima orang teman Abyan tampak berkumpul di kantin sekolah saat istirahat pertama. Mereka memesan beberapa makanan dan minuman lalu berbincang-bincang sambil menghabiskan pesanan mereka. Sementara Tama dan Abyan, mereka entah berada di mana. Bahkan keduanya langsung menghilang begitu bel istirahat pertama berbunyi.
“Buset piscoknya enak banget, sialan!” kata Ilal sembari menyeruput coklat yang lumer dari dalam kulit piscok buatan Titin.
Saskia yang sedang minum jus alpukat menatap Ilal. Yang ditatap sepertinya tersinggung.
“Apa lo liat gue?” tantang Ilal.
Saskia melipat dahi. “Apa sih, kan aku punya mata.”
“Gue curiga Ilal lagi datang bulan,” celetuk Fajar.
Bulan yang merasa namanya disebut langsung mengangkat tangannya. “Aku udah di sini malah, udah sampe, bukan datang.”
Ismi menyebik, menatap malas Bulan. Sejak kapan anak pendiam ini jadi receh?
Semuanya terdiam. Merasa hening, Ilal memutuskan untuk tertawa paksa. Ia memberi jempol pada Bulan dan candaannya. Tiba-tiba Ismi tertawa. Ia tak sanggup menahan wajah Ilal. Rasanya Ismi ingin tertawa terpingkal-pingkal tanpa henti.
Ilal, Bulan, Saskia, dan Fajar kebingungan. Menatap penuh pertanyaan pada Ismi yang masih tertawa dengan tangan memegang perutnya yang mulai terasa sakit.
“Kenapa, lo?” tanya Fajar pada Ismi.
Wajah Ismi mulai memerah. Ia semakin terpingkal-pingkal begitu melihat wajah Ilal untuk kedua kalinya. Telapak tangannya tanpa sadar memukul-mukul bahu Bulan, membuat Bulan kesakitan.
“Mi! Sakit!”
“Lo kenapa anjir?” tanya Ilal seraya menghabiskan piscok di tangannya.
Ismi terus tertawa tanpa suara. Sekalinya bersuara, suaranya mirip orang asma. Atmosfer kantin berubah. Ilal rasanya ingin tertawa juga. Ia mengedarkan pandangan pada teman-temannya yang ternyata mulai menahan tawa.
Akhirnya mereka berempat ikut tertawa. Tidak ada yang lucu, tetapi keinginan tertawa rasanya kuat sekali.
Beberapa menit dihabiskan hanya untuk menertawakan hal yang bahkan tidak diketahui di mana letak lucunya. Setelah lelah akhirnya mereka berhenti tertawa. Tampak wajah mereka semua yang memerah. Dari kejauhan Tama dan Abyan berjalan mendekati kelimanya.
“Nah, tuh dua sejoli dateng juga,” ucap Ilal, mengatur napasnya.
“Dari mana kalian?” tanya Bulan, mengusap air mata yang turun pada sudut matanya.
“Taman,” jawab Abyan. Tama mengangguk, membenarkan ucapan Abyan.
“Tumben. Ngapain?” sahut Ismi.
“Liat pohon kita.” Kali ini Tama yang menjawab.
“Di tanem di sebelah mana?” Bulan bertanya lagi.
“Deket area kolam ikan,” jawab Abyan.
Tama dan Abyan ikut mendudukkan diri. Mereka duduk berhadapan.
“Besok jalan pagi, yuk?” ajak Ismi.
“Boleh,” kata Ilal dan Fajar bersamaan. Saskia dan Ilal hanya mengangguk, sedangkan Bulan dan Abyan belum memberikan jawaban.
“Mau jalan ke mana?” tanya Bulan, membenarkan posisi duduknya.
“Sekitaran aja, muter-muter,” ungkap Ismi. “Mau, ya?”
Bulan berdehem. “Tapi jangan jauh-jauh, lho, ya.”
Ismi mengangguk, memeluk erat Bulan penuh kasih sayang.
“Lo gimana?” tanya Ismi, beralih menatap Abyan.
“Gak tau. Izin dulu nanti sama bunda,” kata Abyan.
“Boleh kali, ah! Masa anaknya mau jalan pagi doang gak boleh?” celetuk Ilal.
“Kalian aja, deh. Aby gak ikut,” ucap Abyan, menghela napas.
Semuanya melipat dahi pada Abyan.
“Ayo, dong! Gue jemput deh besok!” mohon Ismi.
“Iya, By, ayo!” pinta Saskia dan Fajar.
Abyan menggoyangkan kedua kakinya, tanpa sengaja mengenai kaki Tama. Tama melongok ke bawah, lalu sesaat kemudian menatap wajah Abyan.
“Ikut aja, By. Ada gue, kok.” Tama membuka suara.
Ilal menatap Tama. “Apa hubungannya ada lo sama si Aby?”
“Gue kan sahabat deketnya,” jawab Tama, menaikkan kedua alis.
“Lah kita semua kan juga sahabatan.”
“Tapi gue lebih deket sama Aby dibanding lo-lo pada.”
Ilal berdehem malas. “Ya udah terserah lo. Bujuk tuh si Aby.”
Abyan bersitatap dengan Tama. “Ikut?”
“Aby izin dulu sama bunda,” jawab Abyan, final.
“Pasti diizinin, kok. Kalo misal gak diizinin, nanti gue yang izinin ke bunda,” tutur Tama. Penuturannya berhasil membuat teman-temannya yang lain melipat dahi.
“Lo kenal sama nyokapnya Aby?” tanya Fajar.
“Tuh kan, kalian tuh sebenernya udah temenan dari lama, ‘kan?” tanya Bulan.
Tama merasa kakinya diinjak oleh Abyan. Tatapan Abyan seolah mengisyaratkan sesuatu, sayangnya Tama tidak dapat memahaminya.
“Ayo marahan,” ledek Ilal begitu melihat tatapan Abyan pada Tama.
“Udah pokoknya lo ikut, By! Sekarang tinggal tentuin jam sama dresscode,” kata Ismi.
“Gak! Gak usah ada dresscode!” Fajar bersungut-sungut.
Saskia dan Bulan mengangguk.
“Gak usah pake dresscode, Mi. Bebasin aja,” ucap Bulan.
Ismi pasrah. “Ya udah gak ada dresscode. Jamnya mau jam berapa?”
“Tujuh aja, jangan pagi-pagi,” usul Ilal.
Abyan menghela napas di hadapan sang ibunda. Juni yang tak tahu menahu apapun kebingungan dengan tingkah sang anak.
“Aby kenapa? Mau cerita?” tanya Juni, meletakkan kepala Abyan perlahan di bahunya. Keduanya duduk di sofa.
“Aby boleh ikut temen-temen jalan pagi jam tujuh, besok?”
“Sama siapa aja?”
“Temen-temen MPLS Aby, ada Tama juga,” terang Abyan.
“Boleh, Aby.”
Abyan bukannya senang malah kembali menghela napas. “Aby gak mau ikut, tapi kata Dokter Astrid Aby harus bersosialisasi.”
Juni berdehem, ternyata inilah yang membuat sang anak gamang. Segera Juni mengusap pelan punggung Abyan dari atas ke bawah beberapa kali. Juni berusaha memberi rasa nyaman pada Abyan.
“Ada lagi yang mau diceritain?”
“Menurut bunda Aby harus gimana?”
“Kalau menurut bunda, terserah Aby aja. Kalau Aby ikut, pertemanan Aby bisa lebih deket, Aby jadi lebih mudah berinteraksi sama mereka. Kalau Aby gak ikut, gak masalah. Senyamannya Aby aja, sayang.”
Abyan mengangguk paham tanpa mengatakan apapun. Ia lebih memilih diam sambil berpikir apa pilihannya, karena pilihannya akan menentukan banyak hal ke depan dalam kehidupan pertemanan dan sekolahnya.
“Aby masih punya banyak cara untuk berinteraksi, bersosialisasi sama mereka kalaupun besok Aby gak ikut, kok,” tambah Juni.
“Aby ... mau ikut aja,” jawab Abyan, final.
Juni tersenyum, menyetujui apapun pilihan Abyan. Terlihat sepele sebenarnya, tetapi ini bukan hanya tentang pilihan. Ini tentang perjalanan kehidupan di masa yang akan datang.
Setelahnya Abyan beranjak pergi ke kamar. Ia segera menghubungi teman-teman grupnya, memberitahu bahwa ia diizinkan ikut.
= = = = =
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Fiksi Remaja[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...