Tama meliak-liuk di jalanan, melesat menembus beberapa kendaraan yang juga akan pergi menuju tujuannya masing-masing. Tama sengaja datang lebih pagi, karena biasanya Hari Senin selalu macet kalau ia berangkat terlalu siang. Ia tidak memakai helm, jangan ditiru. Gas dipelankan begitu mendekati gerbang sekolah yang sudah terdapat beberapa murid dan sebuah mobil hitam, tidak tahu milik siapa. Ia memakai baju olahraga berlogo SMA 5 Yadair.
Setelah parkir, Tama segera berjalan menuju lorong. Netranya tidak sengaja menangkap Abyan yang baru saja turun dari mobil hitam itu. Tama melihat Abyan berhadapan dengan seorang pria paruh baya, mereka sepertinya sedang mengobrol. Dengan ragu-ragu Tama berjalan mendekati mereka. Menyapa dua orang di hadapannya, menyalimi tangan pria paruh baya yang tak lain adalah Nadif. Tidak masalah, ‘kan, berusaha akrab?
“Pagi, om!” sapa Tama, sok akrab.
Nadif tersenyum. “Halo! Temennya Aby, ya?”
Tama mengangguk, ia menengok pada Abyan yang memasang wajah terkejut.
“Oh … ini Tama?” tanya Nadif sesaat setelah melihat papan nama milik Tama.
Nadif menatap Abyan. Yang ditatap mengangguk.
“Tama yang temen semeja-nya Aby, ‘kan?”
Tama kembali mengangguk.
“Salam kenal, ya. Om minta tolong, tolong jagain Aby.”
Pupil mata Abyan bereaksi. Membesar-mengecil.
“Siap, om! Saya jagain kok anaknya!” jawab Tama sembari memberi hormat pada Nadif.
“Aby bisa jaga diri, ayah!” kesal Abyan, mengembungkan pipi sembari menghentakkan kaki.
Nadif tersenyum. “Iya, ayah tau Aby bisa jaga diri, kok. Tapi mumpung ada Tama, temen semeja Aby, jadi ayah minta tolong juga. Kan sesama teman harus saling tolong-menolong, ganteng.”
Beberapa saat setelah mengucapkan itu, Abyan dan Tama menyalami Nadif, lalu mobil Nadif berjalan pergi meninggalkan keduanya di gerbang. Tama melambaikan tangan, senyumnya merekah.
“Ayo, ke kelas!” ajak Tama, memegang lengan Abyan tetapi segera ditolak Abyan.
“Sebel sama Tama!” pungkas Abyan, berjalan mendahului Tama dan meninggalkan temannya itu.
Di kelas, Abyan menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangan yang sudah terlipat rapi di atas meja. Selang beberapa detik, Tama masuk ke kelas, melihat Abyan yang sepertinya tampak tidak menyukai perkenalan Tama dengan ayah Abyan.
“By, lo marah sama gue, ya?” tanya Tama.
Abyan menggeleng di atas meja.
“Gue kan niatnya cuma mau kenalan, By. Sorry, kalo lo gak suka, ya.” Tama berucap lembut, kemudian beranjak keluar kelas.
Di area belakang, tampak Fajar yang sedang menyapu kini menatap Abyan. Sementara pada meja sebelah Abyan, ada Ismi dan gengnya—Bulan, Saskia—yang sedang mengobrol.
Abyan mengangkat kepalanya setelah tidak mendapati suara Tama lagi. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, sekilas bersitatap dengan geng Ismi dan Fajar.
“Nyariin Tama, ya?” ledek Ismi. Abyan menggeleng.
Tama masuk pada salah satu pintu sekat di toilet. Senyum yang terpancar tadi berubah menjadi penyesalan. Ia merutuki dirinya sendiri, memukul pelan kepalanya. Gue kenapa sok akrab banget, dah? Ah, anjing! Batin Tama.
Beruntung sekali kelas sepuluh satu. Jadwal mata pelajaran mereka pagi hari ini adalah PJOK. Semua murid sepuluh satu sudah berada di lapangan rumput yang saat itu dipakai untuk MPLS. Guru PJOK mereka adalah Jali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Novela Juvenil[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...