Ada alasan mengapa Abyan tidak memberitahu teman-temannya tentang foto wajahnya yang diedit sedemikian rupa saat sedang menceritakan dirinya yang diperkosa. Abyan merasa sulit untuk menceritakan bagian itu. Ia tidak ingin teman-temannya tahu perihal kejadian yang membuatnya merasa benar-benar ‘inilah mimpi buruk’. Sejak mengetahui Nanda yang menyimpan fotonya dan diedit, Abyan selalu menolak kala dirinya difoto ataupun berfoto bersama orang lain.
Pernah satu kejadian Abyan difoto Juni diam-diam bermaksud untuk kenangan, lalu saat Abyan mengetahuinya, ia segera meminta bundanya untuk segera menghapus dengan raut wajah kesal. Bahkan, Abyan menjauh dari Juni selama beberapa hari hanya karena hal tersebut. Bagi orang lain, melihat fotonya sendiri dalam layar ponsel maupun setelah dicetak itu adalah hal yang membahagiakan, malah segera di posting ke media sosial. Namun, tidak bagi Abyan. Melihat fotonya sendiri sama saja membangkitkan bayang-bayang luka masa lalu.
Katakan saja Abyan tidak seperti remaja lainnya. Abyan tidak masalah.
Tuhan, sejak malam tadi sampai pagi ini kulihat ia tersenyum bahagia. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi aku turut bahagia melihatnya. Namun, aku merasa penasaran, apakah karena remaja perempuan semalam? Atau mungkin Tama dan teman-teman lainnya?
— Juni Humaira, 01 November 2021, pukul 06.57.“Tama, mau?” tanya Abyan, menawarkan udang yang dibekali Juni. Bel istirahat pertama baru saja berbunyi.
Tama yang tengah merapikan buku di atas meja, menengok. Ia menatap lamat-lamat udang yang ada di dalam kotak bekal Abyan.
“Mau?” Abyan kembali bertanya.
“Boleh. Suapin,” pinta Tama sambil membuka mulutnya.
Abyan terdiam. Ia menatap Tama dan udang dalam bekalnya secara bergantian. Perlahan Abyan mencomot satu udang goreng, lalu ia mendekatkannya pada mulut Tama yang masih terbuka.
Tama berdehem keenakan begitu merasakan rasa gurih udang, seketika perutnya berbunyi, cacing dalam perutnya kelaparan. “By, makan di kantin aja, yuk! Sekalian gue beli makan.”
Abyan mengangguk. Ia kembali merapikan bekalnya dan beranjak dari kursi. Sesampainya di kantin, Abyan duduk pada salah satu kursi, menunggu Tama membeli nasi dengan ayam geprek pada salah satu penjual. Abyan mengedarkan kedua netranya, untung saja kantin tidak terlalu ramai murid-murid. Kalau terlalu ramai, kantin jadi berisik, dan Abyan kurang menyukai hal itu.
“Maaf ya lama,” kata Tama, mendudukkan diri tepat di samping Abyan. “Mau, gak, ayam geprek?”
Abyan menggeleng.
Seiring berjalannya waktu, persahabatan keduanya semakin dekat. Abyan mulai nyaman memiliki sahabat seperti Tama, begitupun Tama sendiri. Kedekatan-kedekatan itu tentunya juga dibantu Juni, Nadif, Gina, dan teman-teman MPLS Abyan. Ikatan-ikatan yang terbentuk dalam hati Abyan membuat dirinya mendapat kembali semangat untuk berjuang sampai pulih.
“Tama.”
“Ya?” Tama menengok sambil terus mengunyah makanan. Keringatnya mulai turun membasahi pelipis.
“Makasih.”
“Buat?”
“Udah mau sahabatan sama Aby.” Abyan tersenyum kecil, sesaat kemudian ia menunduk, malu.
Ucapan yang diucapkan Abyan membuat Tama ikut tersenyum. “Makasih juga.”
Abyan mendongak. “Buat apa?”
“Udah buat hidup gue jadi berwarna.” Keduanya saling tatap dan tersenyum. Sampai akhirnya dipudarkan oleh Ilal yang tiba-tiba mengganggu deeptalk Abyan dan Tama.
“Senyum-senyum aja lo berdua,” sindir Ilal sambil membawa semangkuk bubur.
Bel pulang. Abyan dan Tama segera keluar dari dalam kelas menuju parkiran. Hari ini Abyan akan main di rumah Tama. Ini pertama kalinya Abyan ke rumah orang lain semenjak kejadian itu. Perjalanan keduanya ditemani angin yang berembus pelan, menerpa lembut wajah mereka. Pohon-pohon bergoyang, seolah ikut merasakan rasa bahagia dari mereka.
“Ini namanya nada A minor.” Tama sedang mengenali nada-nada kepada Abyan di balkon kamar. Abyan duduk memegang gitar, sementara Tama di hadapannya sibuk membantu jari-jari Abyan untuk menekan senar gitar nada A minor.
“Coba petik.”
Abyan tersenyum antusias. Suara yang dihasilkan dari gitar berhasil membuatnya merasa seperti seorang pemain gitar profesional—walaupun baru belajar satu petikan.
“Coba petik sekali lagi.”
Abyan kembali memetik.
Tama mengangguk-ngangguk. Senyumnya merekah melihat sahabatnya yang bahagia. “Kalau lo mau belajar gitar, gue siap ajarin sampe bisa. Mau?”
Mendengar hal itu, Abyan langsung mengangguk sebagai jawaban. “Mau! Eh, tapi kalo Aby belajarnya lama, gimana?”
“Gapapa, gue juga lama kok belajarnya. Yang penting rutin belajar. Oke?”
“Oke!” Abyan memberi jempol.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Jugendliteratur[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...