Juni mendudukan diri di atas kasur. Jari telunjuk tangan kanan menunjuk kalender yang sedang dipegang oleh tangan kirinya. "Sekarang Jumat, obatnya masih ada 13."
Juni menyipitkan mata, mendongak sambil berpikir. Sesaat kemudian sennyumnya merekah. "Alhamdulillah peningkatan!"
Juni mengambil pulpen di atas meja, melingkari hari Sabtu di minggu depan. "Minggu depan, Sabtu, jam delapan pagi, Aby terapi."
"Kira-kira, berapa kali terapi lagi, ya, Aby bisa sembuh?" monolognya.
Juni kembali tersenyum. Ia membayangkan saat sang anak dinyatakan sembuh dari trauma lima tahun lalu. Kini hati Juni berbunga-bunga, rasanya seperti saat dilamar Nadif kala itu. Juni tidak sabar mendengar diagnosis akhir, saat di mana sang anak dinyatakan sembuh oleh Dokter Astrid dari PTSD.
"Lancarkan, Ya Allah," ucap Juni memeluk kalender.
Kelompok Dini sudah berkumpul semua di lapangan. Mereka duduk melingkar dengan area tengah yang menjadi tempat meletakkan tanaman yang dibawa mereka. Total ada delapan tanaman, empat tanaman bunga, empat tanaman buah.
Abyan membawa dua tanaman, bunga matahari dan mangga, Ilal membawa pohon salak, Tama membawa pohon mangga, Fajar dan Saskia membawa bunga mawar, Ismi membawa pohon rambutan, sementara Bulan membawa bunga air mancur.
Dini mengamati satu-persatu tanaman yang dibawa anggota kelompoknya. Sesaat kemudian ia mengangguk, berdehem kecil, lalu memberi tepukan tangan kecil. Ia tersenyum. “Bagus! Makasih ya udah mematuhi apa yang disuruh kemarin,” kata Dini.
“Tapi ini mohon maaf, Dek Aby,” Dini menatap Abyan. “Kenapa bawa sampe dua tanaman?” sambungnya.
“Disuruh bawa dua-duanya sama bunda, kak,” jawab Abyan, mengulum bibir dan sedikit menunduk karena malu ditatap.
“Gue tebak, bunda lo gak suka tanaman, ya?” tebak Ismi.
“Kalo iya, berarti sama dong kayak gue,” lanjutnya.
“Bunda suka. Di rumah udah banyak, makanya bunda minta Aby bawa aja.” Abyan menyanggah.
“Yah! Padahal kalo gak suka, gue udah mikir buat bestie-an sama bunda lo,” ungkap Ismi, enteng.
Ilal menyebik. “Sok asik! Kenal aja enggak, lo, Mi.”
“Gue pernah nanem tanaman tapi mati mulu,” timpal Tama.
“Nah, Tam, mending kursus deh ke bundanya Abyan,” sahut Dini.
“Yakali, dah!” Tama mengelak.
“Lo nyiram tanaman seminggu sekali, makannya tanamannya mati,” kata Ilal sambil tertawa.
“Sialan! Gue malah nyiramin sehari empat kali, bisa lebih malahan! Tetep aja malah mati!” kesal Tama.
“NAH ITU MASALAHNYA!” Semua anggota kelompok—kecuali Abyan—berseru pada Tama. Beberapa anggota kelompok lain sampai menengok pada mereka.
“Kalo banyak disiram juga gak boleh,” tukas Abyan.
“Ini, nih, kalo bundanya Aby denger, gue yakin lo ditampar bolak-balik,” geram Ismi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Teen Fiction[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...