Bab 28 : Perasaanmu Setelahnya.

2 0 0
                                    

“Bunda, Aby ... pengin kasih tau mereka.”

“Aby kasih tau, tapi Aby gak mau dikasihanin dan janji tetep temenan kayak biasa?”

“Aby ... punya penyakit mental, PTSD. Lima tahun lalu Aby ... diperkosa.”

Abyan terduduk dengan tatapan kosong di atas kasurnya. Ia menghela napas panjang saat merasakan perasaan asing yang timbul sejak ia menceritakan masa lalunya di hadapan teman-teman yang mulai ia percayai.

Perasaan ini benar-benar asing. Abyan bahkan baru kali ini merasakannya. Seperti … banyak perasaan tercampur, diaduk-aduk.

“Aby, gak tidur siang?”

Juni membuka pintu kamar perlahan. Ia berjalan mendekati Abyan yang hanya diam. Sesampainya di samping sang anak, Juni memberi pelukan hangat.

“Masa lalu Aby bukan hal yang harus Aby tutupin. Aby hebat udah cerita sama temen-temen.”

Abyan membalas pelukan. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Juni.

“Itu bukan aib yang harus Aby tutupin, ‘kan, bunda?”

Juni mengangguk. “Bukan aib, sayang.”

“Aby ngerasa ... aneh. Kayak ... lega tapi takut. Seneng tapi sedih.”

Juni menatap lurus ke depan, sama seperti Abyan sejak tadi. “Bunda juga ngerasa aneh. Kayak ... aneh aja gitu. Bukan perasaan buruk, cuma rasanya aneh.”

“Kayak di ruangan luas tapi kerasa sempit?” Abyan menengok pada bundanya.

Juni mengangguk pelan.

“Kayak ramai tapi senyap?” Abyan kembali bertanya.

“Iya, kayak yang Aby rasain, bunda juga rasain.”

Keduanya saling tersenyum.

“Kadang waktu yang sedikit lebih mengubah banyak hal dibanding waktu yang lama, ya?”

“Iya,” jawab Juni, menyurai lembut rambut anaknya.

Selang beberapa menit setelah berbincang-bincang, Abyan mulai terlelap dalam dekapan Juni. Juni menatap wajah lelah sang anak lamat-lamat, semenjak bersekolah di SMA 5 Yadair ia menyadari banyak sekali yang terjadi semenjak sebulan setengah lalu, dan sekarang, sudah hampir memasuki bulan kedua Abyan bersekolah di sekolah umum.

Juni merekah senyum. Ia tidak menyesali apapun yang terjadi, kecuali kejadian lima tahun lalu dan cara pengasuhannya kala itu. Ia menyesal, tetapi ia mencoba memperbaikinya sekarang. Tekadnya untuk menebus kesalahan masa lalu membuatnya kuat bertahan demi anak tercintanya. Bahagia selalu, sayang.

Pukul empat sore remaja itu terbangun. Langkah kaki Abyan membawa dirinya menuju kamar Juni yang sekarang terdengar suara printer sedang bekerja, Abyan berjalan masuk ke dalam kamar. Di atas kasur ada Juni yang sedang menatap printer di atas meja, persis seperti Abyan saat sedang mencetak nametag kala itu.

Juni menatap Abyan, senyumnya kembali merekah. Ia melambaikan tangan pada anaknya, menepuk pelan kasur, memberi Abyan kode untuk duduk di sampingnya.

“Bunda print apa?” tanya Abyan, mengucek sudut matanya.

Juni menggeleng. “Bunda gak print, sayang. Cuma lagi nunggu print-an ayah dari kantor.”

Mulut Abyan membentuk huruf O, ia mengangguk paham seraya merebahkan diri di atas kasur orang tuanya.

“Dingin,” ujar Abyan. Kedua tangannya bergerak-gerak di atas kasur yang terasa dingin.

Melihat sang anak yang sedang asik sendiri, Juni ikut merebahkan diri. Perlahan tangannya menggelitiki bagian tubuh anaknya yang membuat Abyan kegelian.

“Bunda, geli!” kata Abyan, berusaha memegang tangan Juni agar tidak menggelitikinya lagi.

Saat sedang seru-serunya Juni dan Abyan saling menggelitiki, terdengar suara orang yang mengucap salam di luar. Juni sontak menyudahi aktivitasnya. Bersamaan dengan itu, printer berhenti bekerja. Benda berbobot tiga kilogram tersebut udah menyelesaikan tugasnya.

“Bunda keluar dulu, ya,” ucap Juni. Abyan mengangguk dan berinisiatif merapikan kembali printer ke dalam kardusnya saat Juni sudah keluar dari kamar.

Juni membuka pintu rumah, matanya menyipit tatkala terkena cahaya matahari sore ini. Di depan pagar hitam rumahnya terdapat Ustadz Heri yang melambaikan tangan. “Assalamualaikum, Bu Juni!”

“Waalaikumussalam, ustadz. Sebentar.” Juni bergegas menggeser pagar kemudian bertanya, “ada apa, tadz?”

Ustadz Heri menyengir. “Anu, nanti malam abis isya, kalau ibu dan keluarga gak sibuk, mampir ke kafe, ya. Makan-makan bareng warga sekitar.”

Iris mata Juni bereaksi. “Oh? Dalam rangka apa, tadz?”

“Penjualan kafe lebih dari target, bu,” bisik Ustadz Heri.

Juni ber-ohria. Ia mengangguk. “Baik tadz, makasih banyak ya. Insyaallah nanti mampir.”

“Saya duluan, ya, bu. Mau bilangin yang lain juga,” pungkas Ustadz Heri seraya menyatukan kedua telapak tangannya. “Assalamualaikum.

Juni kembali ke dalam rumah. Pintu tak ia tutup, hanya pagar yang dikunci. Juni sengaja tidak menutup pintu agar udara segar sore ini masuk, menyebar, dan mengganti udara pengap di dalam rumahnya. Saat Juni kembali ke kamar, ia terkejut melihat printernya sudah dirapikan sang anak. Abyan tersenyum lucu begitu melihat keterkejutan Juni.

“Makasih, ya, udah bantu rapiin.” Juni mengecup kening Abyan. “Aby belum mandi ‘kan?”

Abyan mengangguk.

“Mandi, gih. Abis mandi, bunda pakein salep di pipi Aby, biar memarnya cepet hilang. Terus, nanti malem, kita ke kafe Ustadz Heri, deh! Ada acara makan-makan.”

“Tadi yang dateng Ustadz Heri?” Juni mengangguk sebagai jawaban.

“Ustadz Heri ngapain, bun?”

Bersambung.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang