Ingin sekali rasanya Tama diam-diam bolos dari ekskul bela diri ini, tapi hati kecilnya menolak. Akhir-akhir ini dirinya mengalami kelelahan yang cukup berat akibat PR, ulangan harian, dan juga praktik jurus yang sudah diajarkan Jali selama sebulan terakhir.
Tama berada di antara barisan murid-murid lain kelas sepuluh yang semuanya duduk rapi. Mereka tengah melihat praktik kakak kelas mereka, kelas 11. Tampak para kakak kelas mulai memasang kuda-kuda saat salah satu dari mereka mulai memberi aba-aba. Raut wajah mereka terlihat serius, tatapan tajam menghadap depan, geraham yang mengeras, kepalan tangan yang siap meninju berhasil membuat Tama bergidik ngeri. Sementara di sampingnya, ia dapati sahabatnya menatap fokus pada yang sedang praktik sambil mengedipkan matanya.
“By,” panggil Tama berbisik.
Abyan menengok. “Apa?”
“Lo lucu.”
Abyan menyipitkan matanya, lalu kembali menatap fokus ke depan tanpa mengucapkan apapun lagi.
Tama menatap malas Abyan. “Minimal jawab apa gitu, kek.”
“Mau dijawab apa?”
“Misalnya makasih, atau gak sekadar balesan kalo gue lucu juga.”
Abyan menggeleng pelan tanpa mengalihkan fokus pandangannya. Mulutnya menganga saat para kelas 11 mulai menendang ke depan bersamaan dengan suara tepukan tangan terdengar menggema dari kelas 10 dan 12.
Durasi praktik kelas 11 hanya membutuhkan waktu lima menit. Kini tiba waktunya kelas 10 menunjukkan apa yang sudah dipelajari selama sebulanan ini. Formasi tidak berubah, berjajar dan berbaris ke belakang dengan jarak satu meter perorang. Tama dan Abyan menjadi salah dua dari empat orang kelas 10 yang memimpin teman-teman mereka. Keempat orang yang memimpin itu saling menengok, menyatakan kesiapan untuk dimulainya praktik. Aba-aba diberikan dengan mengucapkan, “Ips.”
Perlahan kedua tangan mereka membentang sesaat sebelum menyatukan kedua telapak tangan di dada. Aba-aba kedua, mereka memasang kuda-kuda. Gerakan mereka selaras, tak ada yang mendahului dan tertinggal. Aba- aba ketiga, mereka mulai memukul keras dengan tangan kanan. Aba-aba keempat, tangan kiri mereka memukul, sementara yang kanan ditarik mundur.
Hari semakin sore. Kini sudah pukul tiga lebih. Kumandang azan menggema, para murid yang beragama Islam segera bergegas pergi beribadah. Setelah selesai, mereka kembali ke tempat ekskul bela diri tersebut.
Tama menyelonjorkan kedua kakinya yang pegal. Ia menghela napas lega karena sudah menyelesaikan praktiknya hari ini. Perlahan senyumnya terbit bersamaan dengan dirinya yang menengok pada Abyan di sampingnya.
"Lo mau langsung pulang abis ini?" tanya Tama pada Abyan yang sedang minum.
Abyan mengangguk disela-sela minumnya. Ia meletakkan botol di dalam tas setelah menyudahi aktivitasnya.
"Kenapa emang?" Abyan bertanya balik. Tama menggeleng pelan, tersenyum kecil menatap sahabatnya yang kini mulai dekat.
Dari kejauhan suara Gina menggema. Abyan segera beranjak dari duduknya, bergegas memakai tas dan melambaikan tangan pada Tama sebelum dirinya berlari menuju Gina.
"Aby duluan, dadah!"
Tama mengangguk, membalas lambaian tangan Abyan yang terlihat malu-malu. "Hati-hati!"
Tama bersitatap dengan Gina. Gina melambaikan tangan, Tama kembali membalas. Dalam duduknya Tama mengamati kepergian Abyan dan Gina dari netranya. Iris matanya bereaksi saat dirinya menatap cahaya matahari dari kaca gedung.
Tama merogoh kantong celananya, mengambil ponsel lalu memberi sebuah pesan pada sang papa. Tama pulang sorean ya, mau main dulu.
Setelahnya ia berdiri, melenggang pergi membawa tas menuju parkiran. Melesat di antara semburat cahaya matahari sore yang hangatnya mulai menjalar pada tubuhnya. Tama kembali menghela napas, kali ini lebih panjang. Keluarnya helaan napas diiringi rasa sedih dalam hati. Sore ini terlalu damai, membuatnya segera ingin bertemu dengan sang mama dan sahabat lamanya di makam.
Entahlah ini termasuk berbohong atau tidak, tetapi nyatanya Tama tidak bermain. Ia pergi mengunjungi dua buah makam yang di atasnya tumbuh rumput hijau segar. Ada nisan pada tiap makam, ada nama dari tiap insan yang sudah dikubur itu. Lina Laili dan Galang Ravka Terra yang dikubur bersebelahan.
Lina Leila, mama Tama yang sudah meninggal beberapa tahun silam. Kecelakaan motor yang dikendarainya kala itu mengakibatkan luka pada area kepala belakang. Terjadi pendarahan hebat yang membuat Lina seketika tewas di tempat. Yang lebih tragis, saat itu Lina bersama Galang. Galang terlempar 14 meter, sebagian wajahnya hancur setelah menghantam aspal jalan. Saat terjadi peristiwa itu, Tama sedang tertidur pulas di kamar. Kedamaian tidur siangnya menjadi bencana begitu melihat sang papa yang membangunkannya sambil berderaian air mata.
Tama berjongkok, ia mengusap nisan sang mama dengan lembut. Satu-persatu huruf yang ada di nisan diusap olehnya, tidak ada yang terlewatkan satu pun.
"Mama ...."
"Tama kangen," lirih Tama, bibirnya bergetar hebat. Lambat laun air matanya turun mengenai rumput kuburan sang mama.
"Mama seharusnya waktu itu gak pergi. Kenapa mama inisiatif pergi sama Galang cuma buat beliin Tama burung?"
Tama kini berbalik, menatap makam Galang. "Dan lo, Lang. Kenapa lo mau aja nemenin mama buat beli burung? Kenapa lo gak nolak?"
"Tama mau burung kayak gitu, ya?" tanya Galang, menatap pohon yang sedang disinggahi burung merpati.
Tama mengangguk. "Iya, mau."
"Nanti Galang beliin, deh. Kapan-kapan, ya. Soalnya kalo sekarang, uang Galang habis buat jajan."
Tama semakin berderaian air mata. Ia merasa bersalah.
"Kenapa kalian inisiatif? Kenapa? Harusnya kalian gak perlu beliin! Harusnya kalian gak usah inisiatif! Gue yang jadi kesiksa sama rasa bersalah!" bentak Tama, beranjak berdiri dan menatap makam Lina dan Galang.
"Kalian gak tahu gimana rasanya kesiksa sama perasaan bersalah bertahun-tahun. Gue berusaha cuek sama orang lain, gue berusaha matiin hati gue sendiri! Gue bahkan pernah doa supaya gue gak bisa ngerasain apapun! Untungnya ada papa yang selalu nyemangatin gue, selalu ada buat gue, yang nyadarin gue kalo apa yang udah terjadi gak bisa diubah."
Kaki Tama melemas. Ia berjongkok. "Gue kangen kalian, tapi gue juga kesel sama kalian! Gue kesel kenapa kalian inisiatif!"
"Gue bakal lupain kalian setelah ini. Gue mau mulai hidup yang baru sama orang yang sekarang ada di sisi gue. Gue gak bakal lagi berharap sama kalian, gue gak bakal inget-inget kalian lagi."
Tama sesenggukan. Wajahnya memerah bersama urag-urat leher dan urat mata yang tampak.
"Gue lepas semua rasa bersalah ini. Di sini."
= = = = =
Jujur di bab ini aku ngerasa kurang sama gaya penulisanku, kayak ... kurang dapet feelnya. Btw pas nulis bab ini, aku baru aja selesai ujian wkwkwk. Hopefully kalian tetep suka ya ♡Jangan lupa vote, komen, dan follow!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLuka
Novela Juvenil[ Novel | 17+ ] Abyan hanyalah seorang anak laki-laki berumur 10 tahun. Kehidupannya penuh dengan drama keributan antara ia dan sang ibu yang seringkali tak satu tujuan. Pertengkaran-pertengkaran itu ternyata membuat Abyan lelah dan memilih mencari...