Bab 14 : Tentang Dirinya.

16 5 4
                                    

Dari tempat di mana Juni dan Nadif duduk, keduanya melihat sang anak yang baru saja ke luar dari ruang konseling. Sang anak berjalan mendekat dengan bibir yang dikulum. Sesampainya sang anak di hadapan mereka, Nadif bergeser satu kursi, memberi ruang untuk tempat duduk sang anak.

Abyan mengedarkan pandangan, menatap ke sekeliling yang sudah terdapat beberapa orang.

Juni menatap sang anak, senyumnya merekah. Perlahan ia beranjak dari duduknya. Kini dirinya berjalan menuju ruangan konseling—tiap kali Abyan selesai melakukan konseling, Astrid akan memberikan sebuah kesimpulan dan perkembangan Abyan pada Juni.

"Pagi, Trid," sapa Juni pada Astrid yang tengah mengisi gelas dengan air. Astrid dan Juni merupakan teman saat duduk di bangku SMP. Saat pertama kali Abyan melakukan konsul ditemani Juni dan Nadif, Juni seolah tidak asing dengan wajah Astrid. Lama-kelamaan Juni akhirnya mengetahui bahwa Astrid merupakan teman masa SMP-nya sesaat setelah mendapati informasi dari Astrid langsung. Benar, Juni menanyakannya karena terlalu penasaran.

"Pagi, Jun. Duduk-duduk," kata Astrid seraya memberikan segelas air pada Juni. "Pagi-pagi harus banyak minum."

"Makasih, Trid."

"Sama-sama. Udah sebulan kita gak ketemu, ya."

Juni menyeruput air putih, lalu mengangguk kecil.

"Kamu gimana kabarnya? Ada kejadian yang buat kamu ngerasa kesulitan?" tanya Astrid.

"Alhamdulillah, enggak. Cuma agak cemas aja, sih, sama Abyan pas mau sekolah buat pertama kalinya. Yang waktu itu aku chat kamu," jawab Juni, tersenyum kecil sembari meletakkan gelas di atas meja.

"Alhamdulillah. Kamu aman?"

"Aman. Gak aman kalo gak ada uang." Keduanya tertawa, Juni semakin mencairkan suasana.

"Obat Aby sisa 11, 'kan? Peningkatan yang bagus, Jun!"

Juni mengangguk, matanya berbinar-binar.

"Bulan ini mungkin aku resepin empat tablet aja, ya? Supaya jadi lima belas tablet lagi. Kita tunggu perkembangan sebulan atau dua bulan kedepan. Kalau perkembangannya semakin meningkat, kita coba mulai jadwalin 10 hari satu tablet, ya."

Astrid menulis di atas selembaran kertas dengan beberapa garis dan sebuah logo rumah sakit. Tulisannya saling menyambung satu sama lain, hanya para apoteker yang dapat membacanya.

"Tadi gimana, Trid?"

"Dia cerita tentang banyak hal. Ngerasa agak struggle saat mau sosialisasi sama temen-temennya, perasaannya sekarang, bahkan nanya sesuatu ke aku, tapi untuk yang ini gak bisa aku ceritain. Katanya nanti dia mau cerita sendiri sama kamu," ungkap Astrid.

Juni mengangguk paham. Ia mengerti bahwa sang anak lebih mempercayai Astrid dalam beberapa hal, dan ia tidak cemburu tentang masalah ini.

"Aby kesusahan sosialisasi, ya, Trid?" tanya Juni. Guratan cemas pada wajahnya terlihat.

Tangan kanan Astrid mengusap bahu Juni. Senyuman Astrid merekah. Dari usapan dan senyuman itu, rasanya Juni menjadi lebih tenang.

"Aby emang ngerasa kesusahan, tapi aku yakin lama-lama dia bisa lebih mudah dalam bersosialisasi sama orang lain. Dia cerita, katanya dia punya temen kelompok yang baik, seru. Bahkan katanya, dia punya temen satu meja yang perduli sama dia. Dia jadi ngerasa seneng."

"Tama," gumam Juni tanpa sadar.

"Iya, dia namanya. Tapi kadang dia juga ngerasa takut, sama cowok, sama seperti sebelum-sebelumnya. Aku bisa paham, sih, lukanya Abyan. Dia juga bakal terus berusaha buat sembuh. Aby anaknya optimis banget! Senyum terus pas lagi konseling, seneng ketemu aku."

Juni terkikik geli. Ia membayangkan wajah Abyan yang tak bisa menahan senyum saat berada di hadapan Astrid.

"Dia semangat buat pulih," ujar Astrid, memegang kedua tangan Juni.

Juni menatap Astrid lamat-lamat. Tiba-tiba saja dadanya seperti ditusuk belati ribuan kali. Terlalu sakit untuk diutarakan. Perlahan senyumnya memudar, ia merasa napasnya tercekat bersamaan dengan bulir-bulir air mata yang mulai jatuh membasahi pipi dan make up naturalnya. Selalu saja begini. Selalu saja ia menangis saat membicarakan masa lalu Abyan. Anak semata wayangnya yang dulu sangat aktif, kini menjadi lebih pasif. Dalam keheningan malam Juni selalu berdoa, semoga Tuhan mau memberi keajaiban untuk anaknya.

Tidak bisa dihindari tangisan tadi, kini meninggalkan bekas urat merah pada bola matanya. Sebanyak apapun ia berusaha meghilangkan kemerahan, tetap saja itu terlihat. Mau tidak mau Juni mendekat pada dua orang kesayangannya sembari memakai kacamata yang dibawanya untuk berjaga-jaga. Dari kejauhan, Juni melihat Abyan yang melipat dahi menatap ke arahnya.

Abyan tidak bodoh. Mana mungkin ia tidak mengetahui kalau bundanya itu menangis di dalam ruang Astrid. Ini bukan kali pertama Juni memakai kacamata setelah ke luar ruangan. Empat tahun terakhir, Juni sudah beberapa kali tertangkap seperti ini, tetapi Abyan tidak ingin bertanya apapun, ia tidak ingin melihat bundanya menangis di depan matanya. Hatinya merasa sakit, rasa bersalah menjalar dalam dirinya.

"Bunda, udah selesai?" tanya Abyan, basa-basi yang terlalu basi.

Juni tersenyum, mengusap pipi kanan Abyan. "Udah, dong."

Bahkan dari nada bicara sang ibunda yang sedikit bergetar, Abyan dapat menyadarinya. Tangisan yang seringkali tumpah, masih sering tumpah sejak kejadian itu. Andai di dunia ini ada obat untuk menghilangkan ingatan tentang luka, Abyan pasti akan segera membelinya dan memberikan obat itu pada Juni, Nadif. Dan juga dirinya.

"Yuk pulang!" ajak Juni, menggenggam telapak tangan Abyan, dan menengok pada Nadif,

"Yuk!" Nadif beranjak dari kursi, lalu dengan cepat ia mencium pipi Abyan yang langsung membuat sang anak mendesah kesal. Nadif melakukannya untuk menghibur Juni, sang istri yang masih bersedih hati.

Hampir pukul sebelas, ketiganya baru sampai di rumah karena terjebak macet. Abyan ke luar dari mobil, menghirup udara sebanyak yang ia bisa, lalu mengembuskannya.

Juni mendekati pintu, baru saja ia mulai memasukkan kunci ke dalam lubang pintu, telinganya mendengar suara benda jatuh di dalam. Ia menengok pada Abyan dan Nadif yang kini sedang bercanda di dekat mobil, bibirnya terbuka, ingin memanggil keduanya karena takut apa yang ada di dalam tetapi tidak jadi. Dirinya berpikir sejenak, akhirnya memutuskan untuk segera membuka pintu. Tangan kirinya mengepal, bersiap memukul kalau-kalau ternyata ada maling yang masuk.

Perlahan ia mendorong pintu, membiarkannya terbuka sampai menabrak tembok. Di dalam hanya ada gelap karena Juni memang sengaja mematikan lampu sejak tadi pagi. Dan kini, sepertinya ia menyesal tentang hal itu.

Di halaman, Abyan dan Nadif menengok, segera berlari menghampiri Juni yang berteriak dan melompat-lompat ketakutan.

"TIKUS!"

= = = = =
Double up!

Jangan lupa vote, komen, dan follow!

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang