Bab 21 : Harapmu yang Terjawab.

12 7 19
                                    

Pagi ini kantin sudah ramai oleh murid-murid yang kelaparan. Sebagian besar anak membeli bubur, sementara sisanya membeli nasi uduk. Pada salah satu meja kantin, ada Gina dan Dini yang baru saja membeli bubur, lengkap dengan ayam suwir, sambal, kecap asin, dan kerupuk. Mereka duduk berhadapan, keduanya bersamaan mengambil air mineral gelasan di tengah-tengah meja yang memang disediakan sekolah tanpa perlu membeli.

Dini langsung menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya.

“Baca doa udah belum, tuh?” sindir Gina.

Dini mengangguk dengan mulut yang terbuka, buburnya masih panas.

“Heran gue sama lo, apa enaknya coba bubur gak diaduk,” kata Gina, mengaduk bubur miliknya sebelum memakannya.

Dini menyuap kerupuk. “Selera lo sama gue beda, Gin. Minimal menghargai, sih.”

“Gue menghargai, kok. Cuma aneh aja rasanya. Pas pertama kali gue liat lo makan bubur gak diaduk, gue langsung bengong. Kayak, ini bocah beneran pengabdi bubur gak diaduk?”

Gina meniup bubur yang masih mengeluarkan asap putih, kemudian menyuap bubur setelah dirasa sudah tidak terlalu panas.

“Serem amat, pengabdi,” cicit Dini. “Lagian, gue sama keluarga gue kalo makan bubur emang gini. Dari sekian banyak orang yang liat gue makan bubur, seumur-umur cuma lo doang yang komplen. Mana yang komplen bestie gue sendiri.”

“Yeu! Gue gak komplen! Gue selalu menghargai apapun keputusan lo,” sanggah Gina.

“Menghargai tapi dengan tatapan aneh ke gue. Waktu itu lo liat gue kayak udah ngeliat setan makan bubur gak diaduk, lho, ya! Harusnya muka lo waktu itu harusnya gue foto, biar sekarang lo bisa liat gimana ekspresi lo waktu itu ke gue,” sesal Dini.

Gina tidak memperdulikan ucapan Dini. Netranya menangkap sang adik tengah berjalan di kantin bersama dengan Tama. Mereka berhenti pada penjual gorengan, tampak keduanya yang tengah memilih gorengan.

“Kampret! Gue lagi ngomong bukannya didengerin malah natap apaan tau!” kesal Dini, mengusap wajah Gina dengan telapak tangan.

Gina memundurkan tubuhnya. “Apaan, sih, Din?”

“Gue tadi lagi ngomong, lo denger gak apa yang gue omongin?”

Gina mengangguk. “Denger gue, cuma tadi gue sambil liat adek gue yang baru sampe di sekolah. Gue gak budek, Din.”

“Kirain gak denger,” ujar Dini, mengangkat kedua bahu. “Kenapa adek lo?”

Dini mengedarkan pandangan, mendapati Tama dan Abyan yang membawa beberapa gorengan dengan sambal dalam satu plastik tersenyum begitu melihat dirinya.

“Aby!” panggil Gina, melambaikan tangan.

Keduanya menghampiri Gina dan Dini. Mendudukkan diri di samping Gina.

“Salah satu di sini, dong! Masa tiga lawan satu?” kata Dini.

“Ribet banget lo, Udin!” kesal Gina.

Dini membelalakkan matanya. “Sekali lagi lo panggil gue Udin, gak jadi gue bayarin bubur lo!”

“Aby ada uang, kok. Nih,” sahut Abyan, mengeluarkan uang dari sakunya dan memberikan pada Gina.

Gina menaikkan-naikkan kedua alisnya, meledek Dini.

“Gak usah, By. Kakak ada, kok,” tolak Gina, membuat Abyan mengurungkan niatnya.

“Tumben kalian berdua pagi-pagi jajan?” tanya Gina. Ia memang sering memperhatikan sang adik dan Tama akhir-akhir ini.

“Kita pengin ngemil, kak,” jawab Tama.

Lika-Liku Luka : #SemuaPunyaLukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang